Metamorfosis kehidupan harus dijalani meski jalan terjal berada di sisi kiri kanan kita. Hari ini kita harus rela menjadi debu yang siap diterbangkan oleh angin dan hinggap di sembarang tempat. Esok bisa jadi kita akan menjadi daun di mana lunglai kita tak urung menjadi sebuah tontonan manusia karena melayangnya seperti sebuah layangan yang terlepas dari talinya.
Atau, bisa jadi lusa kita akan berubah menjadi sebuah pohon rindang di mana sebagian orang merasa keranjingan untuk berteduh pada riuhnya gemerisik dedaunan karena digesekkan angin. Bila perlu setelah hari ini, esok dan lusa tak menjadi apa-apa..., berarti kita tinggal menungu kematian yang dikhabarkan terasa sakit dari sekujur tubuh hingga pembaringan di akhir nanti. Au ingin menjaganya supaya tak KEMARAU...
Entah di mana suburku berada
Setiap jejak telah aku ikuti tapaknya
Pada banyak sudut dengusku bekerja
Setiap malam hanya gelap yang kukeloni meski kantuk mendera
Hampa benar karena yang kutemui adalah kemarau
Kemarau panjang dengan terik menghujat ubun-ubun
Anasir tubuhku sering berisi amarah
Caci makiku sesekali keluar, Tuhan tengah Tidur
Hingga DiriNya alfa mencubit dari terlenaku

Sesekali kutemui dirinya
Sosok ringkih berkebaya yang kemarin
Warnanya mulai pudar, bunga teratai hiasi renda bajunya
Senyum masih yang kemarin, tapi terasa tak pernah basi
Ibuku..., mengelus pundakku dengan tangan yang mulai gamang
Pencarianku selesai pada tangan yang gamang tadi
Kemarauku tak ikhlas pergi dari jiwaku
Aku membunuhnya dengan langkah tegap meninju langit
Mayatnya kubuang pada sebuah pengasingan agar tak berbau
Agar mereka tak menutup hidung karena harum adalah keabadian
Keabadian sebuah cinta dan persahabatan.
Apa benar demikian? Aku lebih baik jadi gembel dan mayat saja!