Rabu, 30 Desember 2009

Senja di Bale Bambu

Jika saja engkau mau berbaik hati
tinggalkan tanda...,
kapan engkau tiba menjengukku
tak ada pesan yang kau simpan
apalagi basa-basi itu

Hilangmu pernah jadi pertanyaan
rupawanmu singgah terkadang saja
tapi ingatnya tak juga mau menepi
seperti garis yang tak berujung
meski kupenggal berkali-kali


Bukan di sebuah kelokan aku melihatmu
apalagi di persimpangan jalan
pada rumah bagus bercat renyah
asyik kemasyukmu kupergoki
pangling...

Aku sempat berlari, sembunyi
wajahmu menguntitku hingga ke ujung pintu
bila saja tubuhku dibaringkan
di bale bambu reyot depan rumahku
kantukku tak pernah hujam mataku


Hatiku tak pernah kemarau...

Senin, 28 Desember 2009

Setelah Gempa, Dusun Kami Kini krisis Air

Pulang ke Dusun adalah hal yang membanggakan. Tanah kelahiran yang dulu menjadi pijakan hidup para 'karuhun' atau nenek moyang kita ternyata telah banyak mengalami perubahan.
Demokrasi yang ingar bingarnya hanya sebatas di perkotaan, mulai merambah dusun kami. Keberadaan Geotermal atau proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas di kaki gunung Wayang telah menggerakan energi mereka untuk ikut-ikutan berdemo. Ketimpangan pembagian karyawan menjadi penyebabnya. Penduduk mensinyalir, warga setempat kurang diberdayakan.

Listrik yang dihasilkan dari pelukan Gunung Wayang Windu itu mampu mensuplai Jawa-Bali. Betapa besar keuntungan yang diraih oleh orang kota tadi, sementara yang puluhan tahun "menduduki" daerah tersebut atau warga sekitar cukup diberikan sarana jalan yang dihotmix lumayan bagus, itupun karena si empunya proyek juga punya kepentingan untuk mengangkut alat berat. Tidak murni, bukan?

Gempa yang menerjang dusun kami tak hanya meninggalkan puing, tapi juga air mata yang masih tersisa. Ketika gema takbir menjelang Idulfitri berkumandang, sebaian warga masih pasrah dipelukan tenda sederhana dengan penerangan seadanya. Baju baru yang dibeli buat keesokan harinya seolah menjadi tak berarti karena mereka bingung kemana akan bepergian.

Hari Raya yang seharusnya bertabur kebahagiaan, cuma sebatas khayalan. Gempa telah mengubur impian mereka begitu dalam. Dengan sendirinya pula mereka melupakan hiruk pikuk pesta perayaan Idulfitri dan lebih asyik membenahi genting yang bocor, dinding yang jebol, atau mengurus kematian tetangga yang tertimpa reruntuhan.

Batu ujian tak sebatas di situ saja. Krisis air kini tengah dialami dusun kami. Amat sangat mengherankan, di tanah yang subur di mana dulu air begitu mudah didapat kini justeru kerontang. Tak ada lagi pancuran bambu dengan air yang menggelontor. Tak ada lagi selokan yang membelah kebun teh jika dilihat dari udara tampak seperti seekor ular yang berjalan di semak-semak.

Kecerdasan dan teknologi telah merambah dusun kami. diubahlah sistem pembagian air kepada penduduk dengan ciri "dikirimkan" ke rumah masing-masig. Penduduk tak usah repot menjinjing ember dan memikul cucian piring atau baju kotor ke pancuran karena air sudah dengan bersahabat mengajak tangan kita tinggal memutarkan kran. Cur, air sekepalan ibu jari dewasa menggelontor dengan hebat.


Teknologi bisa membawa kemudahan, tapi juga tak jarang bisa membawa kemudaratan jika tak arif-arif amat menggunakannya. Syahdan, air menjadi berkurang karena pelataran hutan kini mtelah berubah wajah menjadi tanaman kentang, kubis atau wortel. Sumber resapan air telah menjelma menjadi "supermarket" sayur mayur di atas bukit, di mana dulu ratusan bahkan ribuan pohon berdiri gagah menghadang erosi.

Kini nyaris tak ada lagi gemericik air. Air baru datang jam 9 malam, jika tak punya penampungan maka tubuh akan diistirahatkan untuk rela tidak mandi sampe berhari-hari. Pancaroba tak hanya berlaku untuk musim saja, otak manusia juga bisa mengalami hal itu jika keuntungan sudah dianggap tak ada lagi peluang untuk didapat.

Jumat, 11 Desember 2009

Kekasih-kekasih di Ujung Langit

Jika engkau adalah panutan ragaku
dan bila saja nyanyian itu selalu untukku
singgah rindumu kunanti sepanjang hayat
melumat aliran dengus nafasmu seusia bumi

Berikrar aku dalam hati
perempuan abadi yang tersimpan rapat di hati
kukencani sepanjang malam
dan membiarkan bulan berjalan lamban
aku tak ingin malam cepat berlalu

Riak gelombang nan pasang surut
kukayuh bersama hingga menepi di dermaga itu
aku tak akan lalai menggamit tanganmu
perkasaku rela kujadikan tameng

Seserius itu aku bermimpi
khayalku memang nakal meski tak kukenal
dengan siapa aku telah "senggama"
dengan sembunyipun aku tak tahu jawabnya

Rupawanmu terkubur rapat-rapat
masih di balik selimut yang kemaren
dengan rengekan manja yang lalu-lalu
dengan lelaki yang itu-itu juga

Khayalku hilang di ujung malam
kokok ayam menjamahku untuk tersadar
sempurna nian malam ini
esok, bilakah engkau masih bisa "kukencani"?




Gunung Potri, 11122009
Untuk Karib di Kota Bandung, maaf jika ini dianggap sebuah kelancangan. Met Ultah, Panjang umur ya....