Rabu, 25 Februari 2009

Kepada Jiwa yang Sendiri...

Dalam basah hujan kehidupan terus berlangsung. Luka hatiku sejuk menepi robek, tersirami. Jalanku cepat terayun. Menuju daun pintu yang telah lama terkunci. Tak ada jeda untuk berhenti, kendati sampai menangis darah sekalipun. Jarum jam terus berdetak. Pergi meninggalkan waktu dan jutaan sejarah manusia. Tak ada keberpihakan, kendati aku tengah meradang, merintih dalam sakit. Nyaris sempurna, tak ada yang peduli kendati hanya kata-kata!

Aku mungkin harus berhenti mengemis. Puluhan tonggak dan kepalan harus rela kusimpan dan hanya hati yang tahu. Kuat atau tidak beban itu aku pikul, rasanya tidak penting karena aku telah berusaha menajdi manusia layaknya manusia. Kali ini aku hanya ingin merintih...


Air hujan dan tangisan tiada beda. Beningnya sama mengalir..

Sejak aku ditinggalkannya
luluh lantak benar jiwa ragaku
seperti dihantam ribuan pelor
kelakarku hilang dalam ingar

Coba sembunyi dan rajin menepi
lukaku tetap tak hilang
gambaran nyata siulanmu itu
selalu terkepal dalam ingatku

Seharusnya aku diam
diam seperti yang engkau mau
sembunyimu selalu bisa kuikuti
kendati rapat benar kau selimuti
di mana 'tubuhmu' aku bisa rasakan

Engkau sepertinya ingin pergi...
dan aku harus bisa memberimu jalan
kelapangan jiwa tanpa luka
kebeningan hati tanpa tangisan
Kali ini aku akan pasrah...

Rabu, 18 Februari 2009

Perjalanan dan Kunang-kunang

Baru saja adzan subuh lewat. Pagi yang seharusnya ditumbuhi hujan kali ini justeru tampak sebaliknya; beberapa bintang ada di atas kepalaku, di langit yang sudah tak lagi biru karena awan seolah-olah dengan perlahan saling menepi menuju bibir bumi.

Keindahan yang didapat kali ini terasa lebih sempurna. Alam telah memberikan banyak hiasan bagi jagat raya dan isinya. Berbaring gunung dengan tidur yang juga sempurna. Ngigau air terus berbunyi dengan gemericiknya. Alam, selalu dengan setia "menunggui" dan memapah kemana manusia akan pergi.

Aku sesaat hanya merenung. Pada secangkir air yang sudah dingin karena dibekukan alam tanganku terkepal penuh, mendambakan kehangatan yang tersisa dari cawan tadi. Aku tak mendapatkan apa-apa selain rasa dingin yang kudapat. Aku sempat menyesal, kenapa tidak sedari tadi rasa hangat itu kuraih selagi air masih panas. Aku awalnya tentu menyesal karena tak mendapatkan kehangatan itu. Lama berdiri dalam penyesalan dengan keputusan yang telah kubuat malah menambah pikiranku terjadi pertarungan sengit, seperti keputusan setengah hati saja...

Aku mencoba untuk berdiri. Di sisa keremangan yang hampir habis sebuah cahaya tersembunyi di balik rindang daun. Nyaris tak terlihat bahkan! Tapi cahayanya masuk begitu dalam menembus mata. Aku sempat silau, tapi indahnya membuatku terpesona. Dalam remang bintang dan malam yang hampir habis, aku masih menikmati cahaya kunang-kunang itu. Seperti sinar yang dipancarkannya aku bisa bercerita tentang alam sekitar, hati yang gundah karena jatuh hati, kecintaan kepada orang-orang terdekat dan juga rasa kagum terhadap ibu.

Kunang-kunang itu lalu kudekati. Sinarnya tetap benderang. Tapi aku merasakan lain. Pesonanya sedikit terhalang ranting kecil hingga tubuhnya yang mungil nyaris terjepit. Sebuah persoalan dilematis karena di sisi lain ia harus tetap bertahan hidup dengan nuraninya, di sisi lain dirinya merasa dilukai oleh ranting kecil itu.
Tak lama kunang-kunang itu menderita. Proses alam telah menolongnya. Inilah yang namanya 'pertolongan entah...'

Tentu aku merasa kagum. Dengan kekuatan hidup sebegitu besar telah menjadikan kunang-kunang demikian perkasa di tengah raksasa-raksasa lain.
Jika saja malam tak akan menemui siang, aku tentu akan lebih betah "menemani" kunang-kunang pagi itu. Tapi rasanya tak mungkin karena dengan segala keterbatasan yang diberikan Tuhan, sinarnya hanya akan dinikmati manakala kegelapan datang.

Tentu saja..., aku merasa kangen menemui dini hari seusai subuh, bertemu kunang-kunang. Kalau saja aku punya kuasa..., aku ingin sekali meminta kepada Tuhan untuk "mempersunting" kunang-kunang itu. Tapi Tuhan "menolak" dengan tegas bahwa kunang-kunang itu sudah dimiliki oleh kegelapan.

Perjalanan yang indah. Hanya beberapa menit saja tapi nikmatnya hingga ke sanubari. Mungkin bisa terkenang sepanjang hayat dan membekas sempurna dalam ingatan.
Terima kasih, Kunang-kunang!

Jumat, 06 Februari 2009

Lagi, Aku kalah!

Sekeping hati yang mulai layu
Digulung rasa dingin sesuntuk ini
Penantian panjang yg entah kapan berakhir
Akhirnya aku lunglai bersandar hampa

Gerangan engkau tak mau tahu
Dengkurmu tak sanggup kudengar
Jauh di lubuk hati yang tercabik
Sosokmu tak jua kutemui malam itu

Mengiba pada keadaan adalah kesia-siaan
Bergandengan hanya pada saat merasa kesepian
Yang tersisa hanya segumpal rasa bersalah
Lau aku kembali dalam kekalahan

Lawanku kali ini adalah keinginanku
Yang selalu kukuh bersarang dalam hati
Tak juga mau enyah
Kendati telah kuusik berkali-kali.

Aku kehilangan kata-kata…!

Rabu, 04 Februari 2009

Keinginanmu Adalah Perintah Bagiku

Benar apa yang dikatakan bahwa perasaan simpati terhadap seseorang bisa menjinakan keliaran kita. Tiba-tiba saja kitapun tunduk terhadap perintah, menjadi pribadi yang jinak, penurut, dan dengan segala “kerendahan hati” begitu mudahnya mampu menjelma menjadi orang lain.

Apapun namanya, lakon hidup harus terus berlangsung kendati aku mesti memerankan dua nama dalam satu tubuh. Sebuah penyelamatan gemilang, tapi itu tadi, karena tak biasa dan tak tega aku sempat protes. Tapi engkau dengan senyum bagusnya berujar pendek bahwa ini jalan aman menuju sebuah “keinginan”.
Hm…, aku hanya bisa tersenyum dalam hati. Sabar…, inilah resiko sebuah keinginan tadi!

Aku, sebagaimana engkau, tentu lebih banyak tersenyumnya dengan sandiwara seperti ini. Ketika tulisan ini kubuat, engkau mengaku tak sabar ingin segera membacanya. Aku tentu bahagia karena itu berarti engkau belum bosan menikmati ocehan serta celotehanku. Di sisi lain, aku sempat kehilangan kepercayaan untuk menulis karena bisa saja isi tulisanku tak lagi “menendang pikiranmu” hingga akan terasa hambar. Beruntung, engkau mengakui bahwa kini sudah terbiasa dengan curahan bathinku. Tak ada lagi degup jantung dan anasir tubuh yang menggiggil. Semua mengalir biasa-biasa saja. Apa benar demikian, wahai pribadi yang selalu kukenang itu?

Cukup lama aku tak mencicipi kemarahanmu seperti dulu, buah dari cemburuku. Tulisanku tiba-tiba mandul tak berisi. Garing dengan plot datar dan serasa tak menyentuh. Kini, kendati tak dalam kondisi marah, aku justeru bisa menulis karena sandiwara itu. Aku harus menjelma menjadi seorang pribadi gaul dengan gaya tak lagi jadul. Sempurnalah kini jalan hidupku. Bagaimanapun engkau telah menemukan hasrat menulisku dengan cara yang unik, dengan sensitifitas yang juga bisa dibilang tak lazim.


Keinginanmu seolah menjadi perintahku. Cepat berreaksi tanpa jeda untuk berpikir terlebih dahulu. Semua seolah sudah dikemas dalam kantong bernama ‘spontan’. Sungguh-sungguh aku tak pernah paham dengan kejadian seperti ini. Engkau telah menjadikan otakku begitu giat berpikir. Menjadikan hatiku rajin bersemedi untuk menemukan kata-kata baru, bahasa-bahasa santun hingga mampu bersarang di lubuk hati terdalammu.

Malam ini entah milik siapa. Hujan di sekeliling tak juga reda. Jika saja saat ini engkau telah tertidur…, kurasa belum karena engkau masih menunggu isi hatiku yang sengaja kutulis untukmu. Andai saja benar engkau telah terlelap…, semoga kantuk yang datang bukan karena bosan menungguku…, tapi kantuk itu datang karena keinginanmu menunggu hari esok supaya lekas datang.