Baru saja adzan subuh lewat. Pagi yang seharusnya ditumbuhi hujan kali ini justeru tampak sebaliknya; beberapa bintang ada di atas kepalaku, di langit yang sudah tak lagi biru karena awan seolah-olah dengan perlahan saling menepi menuju bibir bumi.
Keindahan yang didapat kali ini terasa lebih sempurna. Alam telah memberikan banyak hiasan bagi jagat raya dan isinya. Berbaring gunung dengan tidur yang juga sempurna. Ngigau air terus berbunyi dengan gemericiknya. Alam, selalu dengan setia "menunggui" dan memapah kemana manusia akan pergi.
Aku sesaat hanya merenung. Pada secangkir air yang sudah dingin karena dibekukan alam tanganku terkepal penuh, mendambakan kehangatan yang tersisa dari cawan tadi. Aku tak mendapatkan apa-apa selain rasa dingin yang kudapat. Aku sempat menyesal, kenapa tidak sedari tadi rasa hangat itu kuraih selagi air masih panas. Aku awalnya tentu menyesal karena tak mendapatkan kehangatan itu. Lama berdiri dalam penyesalan dengan keputusan yang telah kubuat malah menambah pikiranku terjadi pertarungan sengit, seperti keputusan setengah hati saja...
Aku mencoba untuk berdiri. Di sisa keremangan yang hampir habis sebuah cahaya tersembunyi di balik rindang daun. Nyaris tak terlihat bahkan! Tapi cahayanya masuk begitu dalam menembus mata. Aku sempat silau, tapi indahnya membuatku terpesona. Dalam remang bintang dan malam yang hampir habis, aku masih menikmati cahaya kunang-kunang itu. Seperti sinar yang dipancarkannya aku bisa bercerita tentang alam sekitar, hati yang gundah karena jatuh hati, kecintaan kepada orang-orang terdekat dan juga rasa kagum terhadap ibu.
Kunang-kunang itu lalu kudekati. Sinarnya tetap benderang. Tapi aku merasakan lain. Pesonanya sedikit terhalang ranting kecil hingga tubuhnya yang mungil nyaris terjepit. Sebuah persoalan dilematis karena di sisi lain ia harus tetap bertahan hidup dengan nuraninya, di sisi lain dirinya merasa dilukai oleh ranting kecil itu.
Tak lama kunang-kunang itu menderita. Proses alam telah menolongnya. Inilah yang namanya 'pertolongan entah...'
Tentu aku merasa kagum. Dengan kekuatan hidup sebegitu besar telah menjadikan kunang-kunang demikian perkasa di tengah raksasa-raksasa lain.
Jika saja malam tak akan menemui siang, aku tentu akan lebih betah "menemani" kunang-kunang pagi itu. Tapi rasanya tak mungkin karena dengan segala keterbatasan yang diberikan Tuhan, sinarnya hanya akan dinikmati manakala kegelapan datang.
Tentu saja..., aku merasa kangen menemui dini hari seusai subuh, bertemu kunang-kunang. Kalau saja aku punya kuasa..., aku ingin sekali meminta kepada Tuhan untuk "mempersunting" kunang-kunang itu. Tapi Tuhan "menolak" dengan tegas bahwa kunang-kunang itu sudah dimiliki oleh kegelapan.
Perjalanan yang indah. Hanya beberapa menit saja tapi nikmatnya hingga ke sanubari. Mungkin bisa terkenang sepanjang hayat dan membekas sempurna dalam ingatan.
Terima kasih, Kunang-kunang!