Rabu, 25 Februari 2009

Kepada Jiwa yang Sendiri...

Dalam basah hujan kehidupan terus berlangsung. Luka hatiku sejuk menepi robek, tersirami. Jalanku cepat terayun. Menuju daun pintu yang telah lama terkunci. Tak ada jeda untuk berhenti, kendati sampai menangis darah sekalipun. Jarum jam terus berdetak. Pergi meninggalkan waktu dan jutaan sejarah manusia. Tak ada keberpihakan, kendati aku tengah meradang, merintih dalam sakit. Nyaris sempurna, tak ada yang peduli kendati hanya kata-kata!

Aku mungkin harus berhenti mengemis. Puluhan tonggak dan kepalan harus rela kusimpan dan hanya hati yang tahu. Kuat atau tidak beban itu aku pikul, rasanya tidak penting karena aku telah berusaha menajdi manusia layaknya manusia. Kali ini aku hanya ingin merintih...


Air hujan dan tangisan tiada beda. Beningnya sama mengalir..

Sejak aku ditinggalkannya
luluh lantak benar jiwa ragaku
seperti dihantam ribuan pelor
kelakarku hilang dalam ingar

Coba sembunyi dan rajin menepi
lukaku tetap tak hilang
gambaran nyata siulanmu itu
selalu terkepal dalam ingatku

Seharusnya aku diam
diam seperti yang engkau mau
sembunyimu selalu bisa kuikuti
kendati rapat benar kau selimuti
di mana 'tubuhmu' aku bisa rasakan

Engkau sepertinya ingin pergi...
dan aku harus bisa memberimu jalan
kelapangan jiwa tanpa luka
kebeningan hati tanpa tangisan
Kali ini aku akan pasrah...

Tidak ada komentar: