Kamis, 14 Oktober 2010

Kemarau

Tulisan ini sebagai jawaban atas keterpurukan karena melulu tak menghasilkan sesuatu yang bisa ditancapkan pada rumah yang kini mulai kuyu ini. Meski tak kelabu, berharap menjadi mekar adalah rasanya tak berdosa.

Metamorfosis kehidupan harus dijalani meski jalan terjal berada di sisi kiri kanan kita. Hari ini kita harus rela menjadi debu yang siap diterbangkan oleh angin dan hinggap di sembarang tempat. Esok bisa jadi kita akan menjadi daun di mana lunglai kita tak urung menjadi sebuah tontonan manusia karena melayangnya seperti sebuah layangan yang terlepas dari talinya.

Atau, bisa jadi lusa kita akan berubah menjadi sebuah pohon rindang di mana sebagian orang merasa keranjingan untuk berteduh pada riuhnya gemerisik dedaunan karena digesekkan angin. Bila perlu setelah hari ini, esok dan lusa tak menjadi apa-apa..., berarti kita tinggal menungu kematian yang dikhabarkan terasa sakit dari sekujur tubuh hingga pembaringan di akhir nanti. Au ingin menjaganya supaya tak KEMARAU...

Entah di mana suburku berada
Setiap jejak telah aku ikuti tapaknya
Pada banyak sudut dengusku bekerja
Setiap malam hanya gelap yang kukeloni meski kantuk mendera

Hampa benar karena yang kutemui adalah kemarau
Kemarau panjang dengan terik menghujat ubun-ubun
Anasir tubuhku sering berisi amarah
Caci makiku sesekali keluar, Tuhan tengah Tidur
Hingga DiriNya alfa mencubit dari terlenaku


Sesekali kutemui dirinya
Sosok ringkih berkebaya yang kemarin
Warnanya mulai pudar, bunga teratai hiasi renda bajunya
Senyum masih yang kemarin, tapi terasa tak pernah basi
Ibuku..., mengelus pundakku dengan tangan yang mulai gamang

Pencarianku selesai pada tangan yang gamang tadi
Kemarauku tak ikhlas pergi dari jiwaku
Aku membunuhnya dengan langkah tegap meninju langit
Mayatnya kubuang pada sebuah pengasingan agar tak berbau
Agar mereka tak menutup hidung karena harum adalah keabadian
Keabadian sebuah cinta dan persahabatan.
Apa benar demikian? Aku lebih baik jadi gembel dan mayat saja!

Selasa, 27 Juli 2010

Merapat Hingga ke Batas

"Pahami saja dengan hati.
Saya memang harus banyak mengerti
hal-hal yang tak saya mengerti..."
( Aisyah Nurrahman )


Tulisan di atas adalah nukilan dari sebuah SMS yang diterima beberapa bulan lalu. Menerawang jauh ke depan, tentu saja si pengirim tak akan sadar bahwa apa yang ditulisnya melalui SMS tadi adalah bagian dari sebuah babak kehidupan. Bersandingnya antara bahagia dan luka adalah sisi romantisme bernama lakon kehidupan tadi.

Jika saja kehidupan tak ada luka dan bahagia, niscaya yang ada adalah jalan datar tanpa sensasi. Nikmatnya tak terasa, bahkan semua layak dianggap sebuah basa-basi. Tak terlalu naif bila saja tiba-tiba deret SMS tadi menghasilkan gumaman berupa larik puisi yang saya angap mulai kedodoran ketajamannya. Tapi tak apalah, rasanya tak tega juga jika rumah ini hanya dikelilingi ilalang kering...


Rapikan dulu kusut bajumu!
seteguk saja kau minum teh hangat ini
gigil tubuh kuselimuti dengan senyum
larimu tak akan jauh dari langkahku

Kesempurnaan hakiki tiada dimiliki manusia
keluhmu hanya bertegur sapa dengan angin
berbicara dengan cara hampa
seperti menjual opini pada ilalang


Tanggalkan saja lukamu itu!
luruhkan tangismu biar dipeluk asa
tempat baru nuansa baru
sensasi hidup rona serupa

Pintu itu tentu tak kukunci
pergilah dengan caramu sendiri
layaknya bidadari yang memesona
jangan punggungi aku dengan pergimu
merapatlah hingga ke batas inginmu




Bandung, Agustus 2010. Salam saya buat Muhammad Rasyid.

Minggu, 07 Maret 2010

Selamat Pagi, Dokter Rina...

Angin kembang pete membentuk selingkaran bau harum kala pagi merangkak siang. Dingin sekitar Tenjolaya, kawasan gempa yang menewaskan puluhan korban, dilingkari kebun teh sepanjang mata memandang. Hijaunya hamparan kebun teh kini telah ditumbuhi "jerawat" bernama lubang tanah yang menganga. Dahsyatnya getaran bumi sejurus saja telah menjadikan Perkebunan Dewata nyaris menjadi kuburan masal. Di Dewata, 'dewa' itu benar-benar berteriak melalui caranya sendiri: longsor!

Hidup tak melulu tentang heroisme untuk menjadi orang nomor satu. Pahlawan hanya secuil kisah sejarah yang selalu ditulis dengan huruf tebal-tebal. Keberanian mengukuhkan diri sebagai penakuluk medan berat, terjal dan penuh resiko yang terkadang saja menjadi pribadi yang lupa karena merasa bahwa identitas lebih penting ketimbang tujuan aslinya yang sarat kesejatian.

Kehebatan warga kampung Tenjolaya menundukkan tanah perbukitan untuk meraih penghidupan adalah keharusan demi isi perut seluruh isi rumah. Memetik teh sangat akrab dijambangi setiap hari sebagai sarana terlepas dari identitas sebagai pengangguran. Dinginnya udara gunung ditundukkan dengan beringas. Masuk ke semak kebun teh yang tak urung ditumbuhi pula binatang melata semacam ular tak menjadikan para hero itu surut untuk tak memetik teh setiap paginya.

Aku mungkin hanya bisa mengabadikan semuanya lewat kata-kata. Sepenggal perjalanan menuju arah Ciwidey sangatlah melelahkan. Tiba di gerbang kota, suasana duka telah terasa ke tulang sumsum. Mimik muka mereka layu seperti setangkai bunga yang tak miskin tersiram air segar. Segerombolan anak-anak lebih suka mendekatkan tubuhnya pada orangtuanya. Mereka seperti trauma dan emoh jauh dari pelukannya...


Dikungkung di bawah tenda plastik berwarna menor. Hujan jatuh tiada henti. Gledek dan petir seperti bunyi petasan dengan ritme seperti tak berujung karena saling menyahut dari berbagai arah angin. Kilatan halilintar seperti blitz kamera pada sebuah acara hajatan, mengkilat membakar muka.

Sejurus mata terlihat, sekumpulan orang-orang begitu giat membangun kehidupan dengan cara membantu mereka mendistribusikan bahan makanan. Membagikan selimut dan mie instan atau susu untuk hari ini demi berakhirnya tangis sang bayi.

Di ujung sana, dekat kebun pisang milik warga di mana bau kembang pete tercium, ada rumah kosong dengan pemandangan sejuk. Sekumpulan muda-mudi asyik bercerita dengan tawa sesungguhnya. Tawa yang sengaja diundang supaya mahluk manis di depannya ikut terhibur. Para bocah asyik mendengar cerita tentang kisah heroisme seekor kancil yang terlepas dari jeratan macan jahat. Sebagai penanda supaya tetap semangat menjalani kehidupan kendati gempa tengah mendera.

Tawa polos anak-anak juga terekam dengan jelas manakala cerita yang disuguhkan adalah tentang keceriaan. Kasih sayang dengan romantisme sempurna tersaji dengan hebat bahwa kehidupan tak pernah lepas dari romansanya. Herosme dan romantisme sama indahnya dan nyaris tiada sekat.

Ketika saja ada beberapa anak terluka, idungnya meler karena mimisan. Seorang renta terbaring di dekat tenda dengan luka di kepala terkena reruntuhan. Tak banyak yang bisa diberikan kecuali "membenarkan" letak selimutnya supaya tak kedinginan. Jika saja sahabat aku ada dan punya waktu luang untuk hadir maka leleran di hidung si bocah atau luka di kepala si renta akan segera pulih.

Untuk itu aku hanya bisa bilang, "Selamat pagi, dokter Rina...!

Rabu, 30 Desember 2009

Senja di Bale Bambu

Jika saja engkau mau berbaik hati
tinggalkan tanda...,
kapan engkau tiba menjengukku
tak ada pesan yang kau simpan
apalagi basa-basi itu

Hilangmu pernah jadi pertanyaan
rupawanmu singgah terkadang saja
tapi ingatnya tak juga mau menepi
seperti garis yang tak berujung
meski kupenggal berkali-kali


Bukan di sebuah kelokan aku melihatmu
apalagi di persimpangan jalan
pada rumah bagus bercat renyah
asyik kemasyukmu kupergoki
pangling...

Aku sempat berlari, sembunyi
wajahmu menguntitku hingga ke ujung pintu
bila saja tubuhku dibaringkan
di bale bambu reyot depan rumahku
kantukku tak pernah hujam mataku


Hatiku tak pernah kemarau...

Senin, 28 Desember 2009

Setelah Gempa, Dusun Kami Kini krisis Air

Pulang ke Dusun adalah hal yang membanggakan. Tanah kelahiran yang dulu menjadi pijakan hidup para 'karuhun' atau nenek moyang kita ternyata telah banyak mengalami perubahan.
Demokrasi yang ingar bingarnya hanya sebatas di perkotaan, mulai merambah dusun kami. Keberadaan Geotermal atau proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas di kaki gunung Wayang telah menggerakan energi mereka untuk ikut-ikutan berdemo. Ketimpangan pembagian karyawan menjadi penyebabnya. Penduduk mensinyalir, warga setempat kurang diberdayakan.

Listrik yang dihasilkan dari pelukan Gunung Wayang Windu itu mampu mensuplai Jawa-Bali. Betapa besar keuntungan yang diraih oleh orang kota tadi, sementara yang puluhan tahun "menduduki" daerah tersebut atau warga sekitar cukup diberikan sarana jalan yang dihotmix lumayan bagus, itupun karena si empunya proyek juga punya kepentingan untuk mengangkut alat berat. Tidak murni, bukan?

Gempa yang menerjang dusun kami tak hanya meninggalkan puing, tapi juga air mata yang masih tersisa. Ketika gema takbir menjelang Idulfitri berkumandang, sebaian warga masih pasrah dipelukan tenda sederhana dengan penerangan seadanya. Baju baru yang dibeli buat keesokan harinya seolah menjadi tak berarti karena mereka bingung kemana akan bepergian.

Hari Raya yang seharusnya bertabur kebahagiaan, cuma sebatas khayalan. Gempa telah mengubur impian mereka begitu dalam. Dengan sendirinya pula mereka melupakan hiruk pikuk pesta perayaan Idulfitri dan lebih asyik membenahi genting yang bocor, dinding yang jebol, atau mengurus kematian tetangga yang tertimpa reruntuhan.

Batu ujian tak sebatas di situ saja. Krisis air kini tengah dialami dusun kami. Amat sangat mengherankan, di tanah yang subur di mana dulu air begitu mudah didapat kini justeru kerontang. Tak ada lagi pancuran bambu dengan air yang menggelontor. Tak ada lagi selokan yang membelah kebun teh jika dilihat dari udara tampak seperti seekor ular yang berjalan di semak-semak.

Kecerdasan dan teknologi telah merambah dusun kami. diubahlah sistem pembagian air kepada penduduk dengan ciri "dikirimkan" ke rumah masing-masig. Penduduk tak usah repot menjinjing ember dan memikul cucian piring atau baju kotor ke pancuran karena air sudah dengan bersahabat mengajak tangan kita tinggal memutarkan kran. Cur, air sekepalan ibu jari dewasa menggelontor dengan hebat.


Teknologi bisa membawa kemudahan, tapi juga tak jarang bisa membawa kemudaratan jika tak arif-arif amat menggunakannya. Syahdan, air menjadi berkurang karena pelataran hutan kini mtelah berubah wajah menjadi tanaman kentang, kubis atau wortel. Sumber resapan air telah menjelma menjadi "supermarket" sayur mayur di atas bukit, di mana dulu ratusan bahkan ribuan pohon berdiri gagah menghadang erosi.

Kini nyaris tak ada lagi gemericik air. Air baru datang jam 9 malam, jika tak punya penampungan maka tubuh akan diistirahatkan untuk rela tidak mandi sampe berhari-hari. Pancaroba tak hanya berlaku untuk musim saja, otak manusia juga bisa mengalami hal itu jika keuntungan sudah dianggap tak ada lagi peluang untuk didapat.

Jumat, 11 Desember 2009

Kekasih-kekasih di Ujung Langit

Jika engkau adalah panutan ragaku
dan bila saja nyanyian itu selalu untukku
singgah rindumu kunanti sepanjang hayat
melumat aliran dengus nafasmu seusia bumi

Berikrar aku dalam hati
perempuan abadi yang tersimpan rapat di hati
kukencani sepanjang malam
dan membiarkan bulan berjalan lamban
aku tak ingin malam cepat berlalu

Riak gelombang nan pasang surut
kukayuh bersama hingga menepi di dermaga itu
aku tak akan lalai menggamit tanganmu
perkasaku rela kujadikan tameng

Seserius itu aku bermimpi
khayalku memang nakal meski tak kukenal
dengan siapa aku telah "senggama"
dengan sembunyipun aku tak tahu jawabnya

Rupawanmu terkubur rapat-rapat
masih di balik selimut yang kemaren
dengan rengekan manja yang lalu-lalu
dengan lelaki yang itu-itu juga

Khayalku hilang di ujung malam
kokok ayam menjamahku untuk tersadar
sempurna nian malam ini
esok, bilakah engkau masih bisa "kukencani"?




Gunung Potri, 11122009
Untuk Karib di Kota Bandung, maaf jika ini dianggap sebuah kelancangan. Met Ultah, Panjang umur ya....

Selasa, 27 Oktober 2009

Seroja Taman Hati

Bisa jadi inilah hasil karya kesekian setelah lama aku tak bisa "bertelur",. Dusun ini tertinggal jauh dan tak pernah aku isi dengan perkakas berupa coretan. Tersebutlah seorang ibu muda, penampilannya tak bisa dibilang sederhana. Jaman telah menuntunnya menjadi pribadi yang berusaha "mengikuti alur", bersedekah pada kemanjaan diri dan melenakan keanggunan dengan caranya sendiri.

Telisik dengan kelopak matamu, dia memang tak secantik bidadari tapi senyumnya memberi inspirasi. Obrolannya pernah bersarang di otakku, turun ke dalam lipatan hati lalu bersembunyi dalam ingatan.
Dirinya, mempunyai kerinduan tak terperi pada kedua orangtuanya. Sebuah pengabdian nurani dengan logika yang sangat wajar!



Coba dengar rintihan ini...!


Kini aku tak menemukan lagi...
seraut wajah kemaren berdaster jingga
dengan polesan wajah nan bersahaja
memunguti kehidupan dengan cara berbeda
meski hatimu sebenarnya pernah terluka
diammu seolah pertanda surga.

Aku tak lelah untuk mengingatmu
berkirim doa tak hanya sekali sepekan
tapi juga setiap dengus nafasku
memberi ruang terlapang, dengan zikir
dan syair sembah sujudku.

Sesekali aku sering mengintip
di sela hati yang kukorek kembali ke masa silam
agung nian engkau punya pribadi
luluh santunmu ajari aku untuk bertutur
aku meranggas merindukanmu, Ibu...

Kini aku tak menemukan lagi...
wajah tampan berkalung sorban
yang kadang terdiam di pojok rumah
secangkir teh dan koran pagi adalah temanmu
membekas dalam ingatku, bermuara hingga ke hati

Marah sepagi itu yang kau berikan
luluhkan jiwa nakalku untuk sembunyi
merapat dalam telunjukmu dan bersandar dalam titahmu
aku ketakutan, tapi juga terlindungi
Aku rindu dendam untuk menemuimu, Bapak...

Sepenggal cerita jatuh satu-satu
kemolekan duniawai membawaku dalam dahaga
dahaga untuk menikmati bersama mereka
memberikan kasih sayang seutuh kain
tanpa renda, tanpa jeda, tanpa jahitan...
ketulusan abadi dari ankmu...

Tersenyumlah, wahai jiwa yang tenang
ankmu, akan mengukir namamu dalam balutan doa
yang berselimut ribuan zikir
mereka, SEROJA di taman hatiku




Terimakasih buat Teteh di Soreang-Bandung atas inspirasinya. Maaf beribu maaf jika ada kata-kata yang tak berkenan. Protesnya aku tunggu!