Rintik hujan jatuh satu-satu. Sekeliling tampak basah, kendati tak seluruhnya tersirami. Aku mulai mencari tempat berteduh setelah sekian lama berkeliling mengitari jalanan.
Sepasang muda-mudi nyaris menubrukku, takut hujan besar mengejar mereka. Si pria menggandeng tangan si wanita berambut panjang itu. Berkali-kali dia mengajak berjalan lebih cepat dengan memanggil namanya, "Cepat jalannya, Rin!"
Dahsyat, aku sepertinya tengah mengandaikan sebuah episod romantisme itu sebagai pelakonnya. Sesaat, aku terus menujukan arah pandangannku pada mereka. Nama yang selalu kuingat betul dalam hatiku itu terus menjauh dalam gandengan hangat si pria.
Kulirik untuk yang ke dua kalinya di belakangku, mesra mereka tetap terjaga kendati sudah hampir hilang dari pandanganku. Benar..., mereka lenyap di balik rimbun pohon Jalan Ambon yang rindang itu.
Sama seperti mereka, kini aku ingin bertaya pada sang pemberi inspirsai. Kenapa engkau mulai sulit ditemui?
Rintik hujan belum reda..., singgahlah barang sejenak!
Kamis, 29 Januari 2009
Sabtu, 24 Januari 2009
Tanpa Judul
Aku terharu sekaligus sedih mendengar ceritamu, wahai Bulan Purnama. Tapi sungguh, aku tak bisa berbuat banyak untuk bisa meredakan 'gerhana' yang kini tengah kau alami. Aku, hanya bisa berjanji untuk mendengar ceritamu meski sampai pagi sekalipun.
Cerita bahagia dan duka bagiku sama bagusnya karena semua mengandung nilai-nilai positif, sebagai pembelajaran karena semakin mau mendengar, semakin matang kita berpikir.
Bila saja langkahmu akan terus diayunkan untuk membina kebersamaanmu dan diyakini sebagai jalan terbaik, lakukanlah! Isi hati kadang selalu menuntun pada arah yang lebih baik ketimbang sentuhan otak kita yang kadang berisi banyak 'siulan nakal'.
Yakini saja bahwa apa yang terjadi adalah sebagai romantikanya sebuah kebersamaan. Biduk rumah tangga seperti dikelola oleh dua nahkoda. Jika tak ada kebersamaan, maka si perahu akan oleng dan dihanyutkan gelombang pasang.
Tegar yang kau miliki sejatinya bisa menjungkir balikan isi hatinya untuk menjadi luluh. Membuang sifat 'kekanakannya' untuk memungut mainan temannya. Bagaimana bagusnya mainan itu, seharusnya dia sadar karena yang dimilikinya lebih elok dan ayu.
Aku sesungguhnya kehilangan kata-kata untuk menuliskannya. Tapi gerhana yang kau alami sungguh-sungguh membuat hatiku ikut khawatir bahkan terpikirkan di benakku. Jika saja engkau ada di depanku..., tentu semua akan menjadi lain.
Bandung tengah dilanda hujan. Semua jalanan beraspal basah oleh rintiknya. Tak ada bulan, sama seperti yang kau alami..., Bandung pun tengah gerhana. Tapi riak kehidupan tetap berjalan. Lampu sorot benderang hingga bangunan kota bermandikan cahaya, ribuan pejalan kaki asyik memenuhi jalan protokol.
Sama seperti keadaan kota itu..., kehidupanmu pasti akan terus berlangsung. Jika saja gerhana itu terjadi kini..., semoga cepat berakhir. Semoga!
Cerita bahagia dan duka bagiku sama bagusnya karena semua mengandung nilai-nilai positif, sebagai pembelajaran karena semakin mau mendengar, semakin matang kita berpikir.
Bila saja langkahmu akan terus diayunkan untuk membina kebersamaanmu dan diyakini sebagai jalan terbaik, lakukanlah! Isi hati kadang selalu menuntun pada arah yang lebih baik ketimbang sentuhan otak kita yang kadang berisi banyak 'siulan nakal'.
Yakini saja bahwa apa yang terjadi adalah sebagai romantikanya sebuah kebersamaan. Biduk rumah tangga seperti dikelola oleh dua nahkoda. Jika tak ada kebersamaan, maka si perahu akan oleng dan dihanyutkan gelombang pasang.
Tegar yang kau miliki sejatinya bisa menjungkir balikan isi hatinya untuk menjadi luluh. Membuang sifat 'kekanakannya' untuk memungut mainan temannya. Bagaimana bagusnya mainan itu, seharusnya dia sadar karena yang dimilikinya lebih elok dan ayu.
Aku sesungguhnya kehilangan kata-kata untuk menuliskannya. Tapi gerhana yang kau alami sungguh-sungguh membuat hatiku ikut khawatir bahkan terpikirkan di benakku. Jika saja engkau ada di depanku..., tentu semua akan menjadi lain.
Bandung tengah dilanda hujan. Semua jalanan beraspal basah oleh rintiknya. Tak ada bulan, sama seperti yang kau alami..., Bandung pun tengah gerhana. Tapi riak kehidupan tetap berjalan. Lampu sorot benderang hingga bangunan kota bermandikan cahaya, ribuan pejalan kaki asyik memenuhi jalan protokol.
Sama seperti keadaan kota itu..., kehidupanmu pasti akan terus berlangsung. Jika saja gerhana itu terjadi kini..., semoga cepat berakhir. Semoga!
Selasa, 20 Januari 2009
Mimpi Kecundang
Kenyataan pahit tak hanya bisa dialami dalam kehidupan. Di dalam ilusi seperti mimpi pun, kelunya kehidupan bisa hadir kendati tidak sesempurna di kehidupan nyata. Kenapa mimpi bisa terjadi? Jangan dipusingkan untuk mencari jawabnya. Nikmati saja bahwa itu sudah jadi bagian proses kehidupan.
Jika saja orang berpikir bahwa mimpi adalah bunganya tidur, alasan ini tak bisa disalahkan. Pun demikian dengan orang yang berpikir bahwa mimpi datang karena separuh pemikiran di otak kita adalah obyek yang kita impikan tadi.
Lalu bagaimana dengan mimpi yang lahir karena sebuah ketergesa-gesaan di mana waktu seperti mengejar hingga mimpi itu terpotong di banyak kisah?. Keluh kesah itu bisa terekam di beberapa lirik berikut ini. “Pertemuanku” dengan wanita dalam mimpi itu diulur dalam sebuah prosa layu. Coba simak dengan perasaan yang biasa-biasa saja!

Sepertiga malam yang aku lewati
Engkau sengaja singgah, nyaris mengejarku
Di tepian malam, dingin menusuk tulang
Sosok ayumu sejenak kunikmati dalam diam
Anggun nian pesonamu malam itu
Kutangkap jinak dalam ruang mataku
Sembunyi di dalam sanubari
Sekeping hati itu berbicara gagu
Karena aku tak seperti yang kau mau(?)
Tak acuh engkau berkerling,
senyum hambar basa-basi
Hatimu seperti berkelit
Berlari untuk menghindariku
Aku berdiri dalam gagap
Malam kecundang,
dalam gagu aku berontak
Aku benar-benar kalah seperti pemabuk
Menggelinding jauh ke lorong waktu
Tersuruk dimamah malam.
Jika saja orang berpikir bahwa mimpi adalah bunganya tidur, alasan ini tak bisa disalahkan. Pun demikian dengan orang yang berpikir bahwa mimpi datang karena separuh pemikiran di otak kita adalah obyek yang kita impikan tadi.
Lalu bagaimana dengan mimpi yang lahir karena sebuah ketergesa-gesaan di mana waktu seperti mengejar hingga mimpi itu terpotong di banyak kisah?. Keluh kesah itu bisa terekam di beberapa lirik berikut ini. “Pertemuanku” dengan wanita dalam mimpi itu diulur dalam sebuah prosa layu. Coba simak dengan perasaan yang biasa-biasa saja!

Sepertiga malam yang aku lewati
Engkau sengaja singgah, nyaris mengejarku
Di tepian malam, dingin menusuk tulang
Sosok ayumu sejenak kunikmati dalam diam
Anggun nian pesonamu malam itu
Kutangkap jinak dalam ruang mataku
Sembunyi di dalam sanubari
Sekeping hati itu berbicara gagu
Karena aku tak seperti yang kau mau(?)
Tak acuh engkau berkerling,
senyum hambar basa-basi
Hatimu seperti berkelit
Berlari untuk menghindariku
Aku berdiri dalam gagap
Malam kecundang,
dalam gagu aku berontak
Aku benar-benar kalah seperti pemabuk
Menggelinding jauh ke lorong waktu
Tersuruk dimamah malam.
Senin, 19 Januari 2009
Assalamu Alaikum Wr.Wb..., Aku Telah Datang
Alhamdulillah...
Pada sore sebagus ini aku telah kembali datang. Melihat "rumahku" yang sekian lama aku tinggalkan. Membuka kunci, memasuki halaman rumah,tak urung membuat hatiku sedikit bergetar, takut bila saja rumahku kesepian sendiri. Aku yang punya, tentu rindu ingin kembali berbagi dengan kalian.
Kepada Allah SWT aku sungguh-sungguh bersyukur atas nikmat yang telah Engkau berikan. Perjalanan jauh yang aku tempuh untuk "mencariMU" telah aku lewati kendati jalanan terjal selalu menghadang.
Pada sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan ingar bingar kehidupan kota, aku 'hinggap' pada sebuah pondok. Bersemedi dan bersetubuh dengan kehidupan ratusan santri. Keseharian yang damai aku peroleh karena yang ada hanyalah alunan Ayat-ayat suci Al-Quran serta nyanyian takbir dan dzikir.
Kalian tentu tak menduga jika perjalanan kali ini bukan sebuah wisata dimana yang dibayangkan adalah suasana penginapan kamar mewah serta empuknya daging suguhan hotel berbintang. Ya, saat itu aku berada pada sebuah pucuk kampung bernama Gajrug, letaknya sangat jauh dari kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten
Di sini..., aku banyak menemukan banyak hal. Kesederhanaan hidup, pola pikir yang lebih matang dan tentu..., "persetubuhan" kami dengan Sang Khalik bisa begitu syahdu kami rasakan. Kelak..., aku ingin kembali menemuiMu...
Ya, aku kini telah kembali...!
Pada sore sebagus ini aku telah kembali datang. Melihat "rumahku" yang sekian lama aku tinggalkan. Membuka kunci, memasuki halaman rumah,tak urung membuat hatiku sedikit bergetar, takut bila saja rumahku kesepian sendiri. Aku yang punya, tentu rindu ingin kembali berbagi dengan kalian.
Kepada Allah SWT aku sungguh-sungguh bersyukur atas nikmat yang telah Engkau berikan. Perjalanan jauh yang aku tempuh untuk "mencariMU" telah aku lewati kendati jalanan terjal selalu menghadang.
Pada sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan ingar bingar kehidupan kota, aku 'hinggap' pada sebuah pondok. Bersemedi dan bersetubuh dengan kehidupan ratusan santri. Keseharian yang damai aku peroleh karena yang ada hanyalah alunan Ayat-ayat suci Al-Quran serta nyanyian takbir dan dzikir.
Kalian tentu tak menduga jika perjalanan kali ini bukan sebuah wisata dimana yang dibayangkan adalah suasana penginapan kamar mewah serta empuknya daging suguhan hotel berbintang. Ya, saat itu aku berada pada sebuah pucuk kampung bernama Gajrug, letaknya sangat jauh dari kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten
Di sini..., aku banyak menemukan banyak hal. Kesederhanaan hidup, pola pikir yang lebih matang dan tentu..., "persetubuhan" kami dengan Sang Khalik bisa begitu syahdu kami rasakan. Kelak..., aku ingin kembali menemuiMu...
Ya, aku kini telah kembali...!
Minggu, 04 Januari 2009
Pulang
Rumah baruku..., aku akan pergi entah untuk beberapa saat lamanya. Pekarangan rumah ini nantinya mungkin akan ditumbuhi ilalang karena tak ada lagi yang mengurus.
Tamu yang datang tentu akan merasa jenuh karena isi perabotannya hanya itu-itu saja. Aku akan berkelana menuju sebuah tempat.
Jika saja aku benar meninggalkanmu, jangan pernah meraas kesepian karena aku pergi untuk mencari 'matahari' yang lama kurindukan. Sinarnya, tak hanya untuk aku, tapi juga dirimu bahkan mungkin orang lain. Aku sungguh-sungguh merasa berat karena perpisahan selalu menyisakan kenangan, juga bersisa duka.
Kepada tamu yang pernah singgah, aku menikmati sekali kata-katamu yang tersimpan di kolom pesan itu. Tak banyak yang kuberikan memang, karena inilah yang kupunya.
Kepada kalian, Arini di Palembang, Seruni di Marelan, Kota Medan juga Rara Keluh di Belanda, kalian adalah orang-orang yang turut serta memberi warna kepada blog ini!

Kendati dengan sembunyi, aku berikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Sang Pemberi inspirasi atas tulisan ini. Engkau tetap cahaya tak hanya bagi dirimu, keluarga tapi juga untuk diriku bahkan mungkin orang lain.
Kehidupan tak selamanya dalam benderang. Redup sesekali akan datang sebagai batu sandungan atau pula sebuah ujian. Ketika berada dalam keredupan tadi, betapa hidup merasa terkhianati. Tapi sesungguhnya tak demikian jika kita sadar, bukankah kesejatian itu akan kita sandang manakala kita berhasil melewati jalan terjal tersebut?.
Malam sudah larut. Sekali lagi aku akan pergi. Jaga rumah ini supaya tak ditumbuh ilalang...!
Kelak aku pasti datang dengan tangan terkepal. Buah tangan entah untuk siapa...
Kepada Sang Pemberi Inspirasi, semoga engkau selalu dalam kondisi baik-baik saja...
Tamu yang datang tentu akan merasa jenuh karena isi perabotannya hanya itu-itu saja. Aku akan berkelana menuju sebuah tempat.
Jika saja aku benar meninggalkanmu, jangan pernah meraas kesepian karena aku pergi untuk mencari 'matahari' yang lama kurindukan. Sinarnya, tak hanya untuk aku, tapi juga dirimu bahkan mungkin orang lain. Aku sungguh-sungguh merasa berat karena perpisahan selalu menyisakan kenangan, juga bersisa duka.
Kepada tamu yang pernah singgah, aku menikmati sekali kata-katamu yang tersimpan di kolom pesan itu. Tak banyak yang kuberikan memang, karena inilah yang kupunya.
Kepada kalian, Arini di Palembang, Seruni di Marelan, Kota Medan juga Rara Keluh di Belanda, kalian adalah orang-orang yang turut serta memberi warna kepada blog ini!

Kendati dengan sembunyi, aku berikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Sang Pemberi inspirasi atas tulisan ini. Engkau tetap cahaya tak hanya bagi dirimu, keluarga tapi juga untuk diriku bahkan mungkin orang lain.
Kehidupan tak selamanya dalam benderang. Redup sesekali akan datang sebagai batu sandungan atau pula sebuah ujian. Ketika berada dalam keredupan tadi, betapa hidup merasa terkhianati. Tapi sesungguhnya tak demikian jika kita sadar, bukankah kesejatian itu akan kita sandang manakala kita berhasil melewati jalan terjal tersebut?.
Malam sudah larut. Sekali lagi aku akan pergi. Jaga rumah ini supaya tak ditumbuh ilalang...!
Kelak aku pasti datang dengan tangan terkepal. Buah tangan entah untuk siapa...
Kepada Sang Pemberi Inspirasi, semoga engkau selalu dalam kondisi baik-baik saja...
Sabtu, 03 Januari 2009
Pelangi Dari Nusakambangan
Seperti hari yang lalu, hari ini dan mungkin esok, Gustaf hanya termangu. Menelanjangi hidup tanpa warna bukan sebuah keinginan atau pilihan, hanya sebuah khayalan yang tiba-tiba saja jadi kenyataan.
Pemebrontakan dalam jiwa yang terpasung keadaan dan adat menorehkan stigma di masyarakat, bahwa dirinya adalah sampah masyarakat!
Sekumpulan burung terbang tinggi. Ada yang sengaja berada di belakang, menjauhkan diri dari rombongan. Tampak luka di sebagian sayapnya. Bulu-bulunya hampir tak menempel lagi pada kulitnya. Darah mengering. Sebentar landai, sebentar naik. Tak kuat menahan terpaan angin, akhirnya si burung terkulai dan jatuh ke tanah. Tak ada yang meratapi, mereka pergi...
Polah si burung mengingatkan pada prahara hidupnya. Kini Gustaf terasing dalam kesendirian yang panjang. Entah kapan akan berakhir.
Malam yang seharusnya dilewati dengan indah, dibiarkan hanya dicerna oleh angin malam tanpa basa-basi. Luka Gustaf kian dalam dan menganga.
Siang tadi, kesendirian itu sedikit terobati. Senyum Seruni, yang katanya semanis tebu, membawanya hanyut pada impian yang lama diidamkannya, mempunya seorang tambatan hati, sekaligus ingin memperistrinya.
Apa lacur, cap sebagai seorang mantan narapidana memaksa hatinya untuk tidak berkhayal setinggi itu.
"Tak ada yang berbeda, semua manusia sama saja di mata Tuhannya," demikian Seruni memberi alasan kenapa ia mau berteman dengan dirinya.
Tak urung, kata-kata Seruni membangkitkan semangat agar sisa hidupnya tak dibiarkan tercecer pada jurang kelam yang pernah disinggahinya.
Mata Gustaf kembali menerawang jauh. Ingatannya tumpang tindih. Sesaat dia begitu ingat betul ketika seorang polisi menghardiknya sebagai penjahat yang tak punya perasaan. Bogem mentah hilir mudik mendarat di wajahnya. Biru lebam adalah "polesan" yang tak mampu untuk dihindari.
Sesaat, Gustaf pun teringat si Manis Tebu, Seruni. Senyum manisnya bermain di pelupuk mata. Bibir Seruni yang merekah dan hanya diberi polesan lipstick yang tak mahal memberi kesan yang tak bisa dihapus dalam sekejap.
Ayunan lembut tangannya diingat betul ketika Seruni melangkah. Sepasang kaki belalang begitu nyata memenuhi langkahnya yang tergesa ketika hujan akan turun.
Selama di dalam kamar penjara, bayangan itu selalu ada. Ketika keluar dan bebas, memori tentang dirinya kian menumpuk di urat kepalanya. Perjalanan cinta dan hidupnya memang ibarat benang kusut, sulit dibentangkan!
Ketika malam beranjak pagi, yang hanya dilewati dengan lamunan, Gustaf terbangun. Suara seseorang dengan nada pelan, menyadarkannya dari tidur.
"Hari sudah mulai pagi, bangunlah dan segera sholat!" Suara itu datang dalam keremangan pagi. Sangat tergesa hingga tak nampak siapa si empunya suara.
Gustaf mengernyitkan dahinya. Menduga-duga siapa gerangan yang berani membangunkannya. Cuaca dingin kampung Panyaungan seperti tak rela untuk melepaskan selimut dari tubuhnya. Kokok ayam datang bersahutan. Sesekali bunyi jengkrik juga ikut meningkahi. Ada bunyi gemericik air yang mengalir begitu tenang.
Keheningan pagi yang datang, suara ayam atau jengkrik,pun gemericik air, tak sedikit pun mengganggu tanya dalam hati Gustaf.
"Siapa sesungguhnya yang telah membangunkan aku?", pikir Gustaf
Belum terjawab apa yang dipikirkannya, suara adzan mengalun dari surau samping rumah. Gontai Gustaf melangkah dan bergegas pergi meninggalkan tanya yang belum sempat dijawabnya.
Sesekali Gustaf menghentikan langkahnya ketika menuju surau. Di sebrang rumah dekat jembatan kecil itulah dia pertama kali dengan si Manis Tebu, Seruni.
Tak mau dikelabui oleh khayalan, Gustaf melangkah tenang dan tak pernah menengok sedikit pun. Kali ini, dia ingin "bertemu" Tuhan dengan kesungguhan hatinya.
Pemebrontakan dalam jiwa yang terpasung keadaan dan adat menorehkan stigma di masyarakat, bahwa dirinya adalah sampah masyarakat!
Sekumpulan burung terbang tinggi. Ada yang sengaja berada di belakang, menjauhkan diri dari rombongan. Tampak luka di sebagian sayapnya. Bulu-bulunya hampir tak menempel lagi pada kulitnya. Darah mengering. Sebentar landai, sebentar naik. Tak kuat menahan terpaan angin, akhirnya si burung terkulai dan jatuh ke tanah. Tak ada yang meratapi, mereka pergi...
Polah si burung mengingatkan pada prahara hidupnya. Kini Gustaf terasing dalam kesendirian yang panjang. Entah kapan akan berakhir.
Malam yang seharusnya dilewati dengan indah, dibiarkan hanya dicerna oleh angin malam tanpa basa-basi. Luka Gustaf kian dalam dan menganga.
Siang tadi, kesendirian itu sedikit terobati. Senyum Seruni, yang katanya semanis tebu, membawanya hanyut pada impian yang lama diidamkannya, mempunya seorang tambatan hati, sekaligus ingin memperistrinya.
Apa lacur, cap sebagai seorang mantan narapidana memaksa hatinya untuk tidak berkhayal setinggi itu.
"Tak ada yang berbeda, semua manusia sama saja di mata Tuhannya," demikian Seruni memberi alasan kenapa ia mau berteman dengan dirinya.
Tak urung, kata-kata Seruni membangkitkan semangat agar sisa hidupnya tak dibiarkan tercecer pada jurang kelam yang pernah disinggahinya.
Mata Gustaf kembali menerawang jauh. Ingatannya tumpang tindih. Sesaat dia begitu ingat betul ketika seorang polisi menghardiknya sebagai penjahat yang tak punya perasaan. Bogem mentah hilir mudik mendarat di wajahnya. Biru lebam adalah "polesan" yang tak mampu untuk dihindari.
Sesaat, Gustaf pun teringat si Manis Tebu, Seruni. Senyum manisnya bermain di pelupuk mata. Bibir Seruni yang merekah dan hanya diberi polesan lipstick yang tak mahal memberi kesan yang tak bisa dihapus dalam sekejap.
Ayunan lembut tangannya diingat betul ketika Seruni melangkah. Sepasang kaki belalang begitu nyata memenuhi langkahnya yang tergesa ketika hujan akan turun.
Selama di dalam kamar penjara, bayangan itu selalu ada. Ketika keluar dan bebas, memori tentang dirinya kian menumpuk di urat kepalanya. Perjalanan cinta dan hidupnya memang ibarat benang kusut, sulit dibentangkan!
Ketika malam beranjak pagi, yang hanya dilewati dengan lamunan, Gustaf terbangun. Suara seseorang dengan nada pelan, menyadarkannya dari tidur.
"Hari sudah mulai pagi, bangunlah dan segera sholat!" Suara itu datang dalam keremangan pagi. Sangat tergesa hingga tak nampak siapa si empunya suara.
Gustaf mengernyitkan dahinya. Menduga-duga siapa gerangan yang berani membangunkannya. Cuaca dingin kampung Panyaungan seperti tak rela untuk melepaskan selimut dari tubuhnya. Kokok ayam datang bersahutan. Sesekali bunyi jengkrik juga ikut meningkahi. Ada bunyi gemericik air yang mengalir begitu tenang.
Keheningan pagi yang datang, suara ayam atau jengkrik,pun gemericik air, tak sedikit pun mengganggu tanya dalam hati Gustaf.
"Siapa sesungguhnya yang telah membangunkan aku?", pikir Gustaf
Belum terjawab apa yang dipikirkannya, suara adzan mengalun dari surau samping rumah. Gontai Gustaf melangkah dan bergegas pergi meninggalkan tanya yang belum sempat dijawabnya.
Sesekali Gustaf menghentikan langkahnya ketika menuju surau. Di sebrang rumah dekat jembatan kecil itulah dia pertama kali dengan si Manis Tebu, Seruni.
Tak mau dikelabui oleh khayalan, Gustaf melangkah tenang dan tak pernah menengok sedikit pun. Kali ini, dia ingin "bertemu" Tuhan dengan kesungguhan hatinya.
Langganan:
Komentar (Atom)