Seperti hari yang lalu, hari ini dan mungkin esok, Gustaf hanya termangu. Menelanjangi hidup tanpa warna bukan sebuah keinginan atau pilihan, hanya sebuah khayalan yang tiba-tiba saja jadi kenyataan.
Pemebrontakan dalam jiwa yang terpasung keadaan dan adat menorehkan stigma di masyarakat, bahwa dirinya adalah sampah masyarakat!
Sekumpulan burung terbang tinggi. Ada yang sengaja berada di belakang, menjauhkan diri dari rombongan. Tampak luka di sebagian sayapnya. Bulu-bulunya hampir tak menempel lagi pada kulitnya. Darah mengering. Sebentar landai, sebentar naik. Tak kuat menahan terpaan angin, akhirnya si burung terkulai dan jatuh ke tanah. Tak ada yang meratapi, mereka pergi...
Polah si burung mengingatkan pada prahara hidupnya. Kini Gustaf terasing dalam kesendirian yang panjang. Entah kapan akan berakhir.
Malam yang seharusnya dilewati dengan indah, dibiarkan hanya dicerna oleh angin malam tanpa basa-basi. Luka Gustaf kian dalam dan menganga.
Siang tadi, kesendirian itu sedikit terobati. Senyum Seruni, yang katanya semanis tebu, membawanya hanyut pada impian yang lama diidamkannya, mempunya seorang tambatan hati, sekaligus ingin memperistrinya.
Apa lacur, cap sebagai seorang mantan narapidana memaksa hatinya untuk tidak berkhayal setinggi itu.
"Tak ada yang berbeda, semua manusia sama saja di mata Tuhannya," demikian Seruni memberi alasan kenapa ia mau berteman dengan dirinya.
Tak urung, kata-kata Seruni membangkitkan semangat agar sisa hidupnya tak dibiarkan tercecer pada jurang kelam yang pernah disinggahinya.
Mata Gustaf kembali menerawang jauh. Ingatannya tumpang tindih. Sesaat dia begitu ingat betul ketika seorang polisi menghardiknya sebagai penjahat yang tak punya perasaan. Bogem mentah hilir mudik mendarat di wajahnya. Biru lebam adalah "polesan" yang tak mampu untuk dihindari.
Sesaat, Gustaf pun teringat si Manis Tebu, Seruni. Senyum manisnya bermain di pelupuk mata. Bibir Seruni yang merekah dan hanya diberi polesan lipstick yang tak mahal memberi kesan yang tak bisa dihapus dalam sekejap.
Ayunan lembut tangannya diingat betul ketika Seruni melangkah. Sepasang kaki belalang begitu nyata memenuhi langkahnya yang tergesa ketika hujan akan turun.
Selama di dalam kamar penjara, bayangan itu selalu ada. Ketika keluar dan bebas, memori tentang dirinya kian menumpuk di urat kepalanya. Perjalanan cinta dan hidupnya memang ibarat benang kusut, sulit dibentangkan!
Ketika malam beranjak pagi, yang hanya dilewati dengan lamunan, Gustaf terbangun. Suara seseorang dengan nada pelan, menyadarkannya dari tidur.
"Hari sudah mulai pagi, bangunlah dan segera sholat!" Suara itu datang dalam keremangan pagi. Sangat tergesa hingga tak nampak siapa si empunya suara.
Gustaf mengernyitkan dahinya. Menduga-duga siapa gerangan yang berani membangunkannya. Cuaca dingin kampung Panyaungan seperti tak rela untuk melepaskan selimut dari tubuhnya. Kokok ayam datang bersahutan. Sesekali bunyi jengkrik juga ikut meningkahi. Ada bunyi gemericik air yang mengalir begitu tenang.
Keheningan pagi yang datang, suara ayam atau jengkrik,pun gemericik air, tak sedikit pun mengganggu tanya dalam hati Gustaf.
"Siapa sesungguhnya yang telah membangunkan aku?", pikir Gustaf
Belum terjawab apa yang dipikirkannya, suara adzan mengalun dari surau samping rumah. Gontai Gustaf melangkah dan bergegas pergi meninggalkan tanya yang belum sempat dijawabnya.
Sesekali Gustaf menghentikan langkahnya ketika menuju surau. Di sebrang rumah dekat jembatan kecil itulah dia pertama kali dengan si Manis Tebu, Seruni.
Tak mau dikelabui oleh khayalan, Gustaf melangkah tenang dan tak pernah menengok sedikit pun. Kali ini, dia ingin "bertemu" Tuhan dengan kesungguhan hatinya.
Sabtu, 03 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
kisah yg bagus
setiap orang punya masa lalu..
walaupun itu sangat hitam
pengalaman tlah mengajarkan seseorang utk lebih baik dr sebelumnya.
utk itu cobalah menerima keadaan seseorang walaupun sekelam apa masa lalu nya.
h_d
Posting Komentar