Ada yang selalu ikut serta dalam benakku jika aku telah usai ‘bicara’ denganmu. Tak jenuh pula kita saling melempar kata, dari mulai yang tabu hingga yang perlu lalu kita nyaris lupa waktu.
Lama atau sebentar kita ‘bicara’, selalu meninggalkan jejak yang sama: rindu kembali untuk mengulang. Menghayati makna hidup, mengurai perjalanan waktu, dan tak lupa saling berbagi perasaan. Ringkihnya beban yang ada, barangkali bisa berkurang. Kendati tak selamanya menjadi penyembuh, sugesti ‘pembicaraan’ itu tak urung membuat semangat hidupku menyala padahal sebelumnya seperti meredup.
Bila saja hanya aku yang merasakan itu semua, mungkin tak akan berdosa sebab aku terbiasa dengan khayalan. Memanipulasi keadaan menjadi lebih baik kendati sebenarnya aku tengah berduka. Coba dengar rintihan kali ini sehabis aku meninggalkanmu itu:
Jejak bibirmu tertuang dalam ingatan
Semua kata-kata berdiam di tepian hati
Aku tahu engkau tak sedang ingkar janji
Membual dengan celoteh palsumu
Bila saja langkah kaki ini lebar berpijak
Sudah kukulum semua barisan kata-katamu
Kubawa pergi ke Dusun sunyi
Kukeloni hingga pagi
Dengan sepuas hati engkau kubawa pergi
Kutimbuni dengan rasa sesejuk embun pagi
Khawatirku tak kan dibiarkan berlalu
Engkau kujaga seperti lalu-lalu
Barangkali engkau tengah tersenyum
Larik puisi yang kuberikan haus kau minum
Dahagamu lalu tersandar dalam kerongkongan
Tapi aku masih terdiam dalam kekeringan
Keras kepala yang kau punya
Seperti onggokan batu di dasar laut
Sulit diselami, sukar dihancurkan
Tapi aku adalah GELOMBANG itu
Punya kuasa menjadikan BATU JADI KRISTAL
Menjadikan DASAR LAUT JADI DARATAN!
Malam kian beranjak menuju pagi. Aku masih melebur dengan gelapnya. Sungguh-sungguh aku tak pernah tahu apa yang dilakukannya manakala diriku tengah ‘membicarakannya”. Bilakah perasaanmu sama dengan yang kupunya?
Rangkasbitung, 301208
Selasa, 30 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar