Sabtu, 13 Desember 2008

Langit Jakarta Hari Itu

Inilah kota di mana serbuan manusia seperti segerombolan semut yang memasuki sebuah sarang penuh madu. Manis terasa hingga ke ubun-ubun. Pahitnya pun menjulang ke dasar langit, seperti empedu jika tak mampu bertahan. Kolong jembatan, emper toko dan stasiun kereta api adalah Rumah yang terpaksa mereka huni. Itu bagi si papa.

Hotel berbintang dan ribuan penginapan bertebaran, semalaman uang ditebar dari kantong hingga jebol tak dirasa. Hidup seperti dalam sebuah cerita, apa yang dimau, tersedia tanpa kendala. Itu bagi kaum jet set nan borjuis.

Jakarta hari ini kedatangan seorang tamu. Ibu muda dengan satu anak yang tengah nakal-nakalnya. Hasil perkawinan dari seorang lelaki gagah, demikian dirinya mengakui ketampanan sang Arjuna ketika menjajaki masa pacaran 6,5 tahun silam. Ibu muda yang diceritakan selalu sibuk ini, kendati berbadan mungil, punya kekuatan besar untuk ‘menggengam’ dunia karena etos kerjanya tak kalah oleh orang Jepang.

Cerita akan diurai oleh keinginan untuk bertemu kawan sepenanggungan dari dunia maya. Internet, tak lagi menjadi barang langka penunjang pekerjaan, melainkan sudah menjadi kebutuhan yang mendekati trend gaya hidup. Tapi jika tak bisa mengendalikannya akan berbuah rasa ketagihan, mirip candu dalam sebatang rokok. Atau bisa pula menjadi penyakit gatal.

“Sehari tanpa internet, jari gua bisa gatel,” demikian ocehan teman kala itu. Gatal kali ini tentu beda karena tanpa koreng. Di sini kita bisa mengambil satu pilosofi. Di mana letaknya? Silakan cari sendiri!

Di Plaza Semanggi ibu muda ini akan bertemu dengan sesama rekannya. Perjumpaan antara sekumpulan orang dengan karakter yang berbeda-beda. Suku yang berbeda, Ras juga agama yang berlainan. Di dunia maya, mereka boleh menyebut si Fulan sebagai Si Gokil, Si Rumpi, Si Narsis atau Si Cerewet seklipun. Dunia tak hanya hitam putih, warna lain bisa kita temukan jika kita benar-benar telah bertemu dan bertatap muka. Maka menggelindinglah sebuah penafsiran ternyata si Fulan kali ini karakter serta sifatnya berbeda kala “bertemu” di dunia maya. Atau bisa pula kita menilai, karakter si Fulan sama persis ketika berhadapan muka. Sama dan beda memang tipis jaraknya, bisa pula berbeda jauh jika mau capek untuk direntang!

Di Plaza Semanggi…

Langit Jakarta tampak ringkih. Matahari sedikit malu-malu untuk terbit. Sinarnya tak segarang seperti hari Minggu kemarin atau hari sebelumnya, Sabtu. Semenjak dari Bandara, badan ibu muda ini seperti di pangganya, panas. Rasa gerah justeru sedikit berkurang mana kala memasuki taksi yang membawanya ke arah Selatan Jakarta. AC taksi kali ini mampu menolong dari kepanasan kendati kualitasnya tak sebagus saat dirinya di dalam pesawat.

Sesekali, dirinya menerima beberapa SMS. Ada yang datang dari karibnya, ada juga yang dikirim oleh seorang pria yang disebutnya sebagai Pria Berimajinasi Liar. Sesaat dirinya merasa terganggu dengan kehadiran SMS dari si Pria Berimajinasi Liar ini, tapi dirinya juga tak menampik kadang sering merindukan ocehannya.

Jakarta, kini telah banyak berubah. Lahan kosong telah dihutanbetonkan oleh bangunan yang nyaris menyentuh langit, demikian ibu muda ini sempat bergumam ketika taksi yang membawanya terus menyisir padatnya lalu lintas Jakarta.

Di Plaza Semanggi, 15 Desember 2008 lalu…

Pada sebuah ruangan berpendingin, mereka janji akan bertemu. Mengenakan baju santai dengan gerai rambut yang sedikit dibiarkan terbang, ibu muda ini memasuki ruangan. Langkahnya telah disambut oleh Sahabat Mayanya yang sedari tadi menunggu. Bersalaman dan kadang cium pipi kiri-kanan antar teman wanita adalah rutinitas yang mereka lakukan kala itu. Tapi sayang…, di antara mereka harus sedikit kecewa karena satu sahabat lagi terlambat datang. Seluk beluk Jakarta belum dikenalnya dengan baik. Itu mungkin salah satu penyebabnya kenapa dia datang terlambat.

Sesaat, di antara mereka seperti menyimpan pertanyaan dan dugaan-dugaan. Oh ternyata…, inilah wajah asli si Fulan!?

Sesekali di antara mereka saling mencuri pandang. Memperhatikan tubuh rekannya dari ujung rambut hingga kaki. Maklum, mereka baru pertama kali bertemu kendati sudah lama saling kenal. Walaupun demikian, obrolan saat itu tak seakrab di dunia maya. Kata ‘gue’ sesaat menghilang. Baru setelah suasana mencair, “wajah” asli mereka nongol juga layaknya di dunia maya tadi.

Obrolan berlangsung pada sebuah meja makan. Ramai dengan celotehan yang mengasyikan dengan diselingi tawa. Kawan yang tak datang, tak luput jadi bahan pembicaraan yang tak kalah memabukkan saat itu. Suasan gerrr dan nyaris lupa waktu, hingga mereka akhirnya beriringan menuju sebuah gedung megah, menonton tayangan hidup.

Langit Jakarta kala itu mulai redup.

Matahari sembunyi di balik awan yang berarak. Ada lembayung yang tampak di balik gedung pencakar langit, warnanya sedikit kuning dan nyaris sama dengan motif pakaian yang dikenakan oleh salah satu sahabat si ibu muda ini. Pertemuan yang menyisakan kenangan dengan aroma yang kental suasana akrab dan kekeluargaan. Ada yang hilang, apa jadinya jika engkau hadir wahai sang pujangga? Tentu aku akan merasakan suasana yang berbeda, entah gugup atau biasa saja. Demikian kata-kata ibu muda ini memenuhi relung hatinya.

Langit Jakarta saat itu sembab keringat, hujan jatuh satu-satu. Malam hampir menyisir pagi. Ke Jakarta…, aku kan kembali!

Tidak ada komentar: