Selasa, 09 Desember 2008

Arini, Telaga di Hatiku

Aku tak pernah berpikir sebelumnya bahwa aku bakal menjalani hidup seserius ini. Saat aku dihadapkan pada kenyataan karena aku mencintai seseorang yang bukan orang yang seharusnya kucintai, justeru imajinasiku kian kreatif saja.

Sugesti yang dihasilkan dari rasa cinta tersebut ternyata berbuah banyak kenikmatan dengan fakta yang tak bisa disangkal. Beberapa hari lalu aku merasakan tubuhku begitu segar, lain dari biasanya karena melihat wajahnya. Arini, si pemilik wajah itu, mengayunkan kaki dengan sangat santai. Kunikmati paras ayunya dari balik rimbun pohon sebuah kebun raya. Arini tentu tak sadar jika wajahnya tengah kunikmati bulat-bulat.

Jika saja aku bisa lebih lama lagi menikmati wajahnya, tentu aku bakal ingat betul bagaimana barisan giginya yang berjejer rapi. Nafasnya pun tentu beraroma layaknya wanita karier di mana penampilan tak pernah diabaikan kendati bukan yang utama. Kesehariannya tak pernah luput dari kesibukan kerja. Bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan status social memapah dia untuk bisa beradaptasi dengan banyak karakter. Syukur, dia berhasil mengatasi itu semua.

Pertemuanku dengan Arini terjadi sangat tak disengaja. Mobil yang dikendarainya waktu itu masuk parit hingga terjerembab ke dalamnya. Mobil tua yang kukemudikan ternyata bisa menarik mobilnya kendati dengan tersengal-sengal. Cuaca buruk dengan hujan yang sebentar lagi turun memaksa kami merapat pada sebuah warung makan sederhana.

“Terima kasih, jika tak ada Anda mungkin saya sudah kerepotan sendiri,” ucap Arini membuka percakapan ketika memesan beberapa porsi makanan.

“Sama-sama, hanya kebetulan saja mobil saya lewat. Panggil nama saja, gak usah kaku begitu dengan mengatakan ‘anda’ segala,” saranku waktu itu.

“Panggil saja aku Arya,” pintaku waktu itu.

Arini mengangguk tanda mengiyakan. Jemarinya terasa dingin manakala dirinya mengulurkan tangan saat memperkenalkan diri. Rambut lurusnya yang dikepang kuda tampak basah. Sementara air mukanya terlihat sedikit kusut namun kecantikannya tetap terpatri utuh. Jika saja diijinkan, aku ingin mengusap butir bening di rambutmu, demikian khayalku waktu itu.

Pertemuan itu berlanjut melalui media lain. Internet, adalah salah satu dari perangkat komunikasi lain yang kerap menjadikan kami tambah dekat dan saling berbagi cerita. Arini tentu tak pernah menutup diri tentang identitasnya, seorang wanita karier yang telah dikaruniai seorang putra. Tak sedikitpun aku gelagapan mendengar pengakuan ini kendati sedari awal merasa tak yakin dirinya telah berkeluarga. Fakta dihadapanku jelas adanya, aku harus realistis bahwa dia sudah tak sendiri lagi.

Sekali waktu Arini bercerita tentang kondisi rumah tangganya. Sangat jarang hal ini di lakukannya kendati kami sudah saling mengenal. Sejatinya, Arini adalah pribadi yang tertutup untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Tapi kenapa kali ini Arini bisa membuka diri?

“Kondisi rumah tanggaku tidak sedang stabil. Rumah tangga kami digoyang isu pihak ke tiga. Isu itu kini bukan sekedar rumor lagi karena aku pernah memergoki suamiku bersama wanita lain…” tegas Arini.

Aku terkesiap mendengar pengakuan ini. Betapa pilu hatinya ketika dirinya tiba-tiba diduakan. Kasih sayangnya terbuang begitu saja dan menjadi bias manakala ikhlas setia yang diberikan pada suaminya hanya jadi pajangan. Kesetiaan dan kecantikan Arini lantas layu di mata suaminya saat itu. Aku berpikir, kenapa wanita selalu jadi korban? Pertanyaanku terganggu ketika Arini kembali bercerita,

“Saya ingin pergi pada sebuah tempat. Meninggalkan hiruk pikuk saat ini untuk menenangkan diri. Tapi bagai mana dengan anakku?” Keluh kesah Arini berakhir dengan pertanyaan yang menggantung. Lalu dirinya menggumam dengan bahasa datar,

“Saya kebingungan. Bertahan dalam kondisi luka dalam rumah tangga bukan sebuah tujuan. Tapi saya harus memilihnya demi buah hatiku.”

“Untuk beberapa lama saya harus pergi dari kesibukan semacam ini. Terima kasih karena Abang sudah bersedia menjadi tempat curhat saya,” ucap Arini lirih.

Saat itu aku tak pernah menjalin komunikasi dengan Arini, semua akses diputus. Arini, tinggal sebuah kenangan yang tersimpan rapi dalam hatiku. Namun ada yang aneh, kian lama dirinya pergi aku semakin kehilangan. Wajah serta senyumnya menggelayut kemana aku pergi. Aku mengkhawatirkan keadaannya…

Aku mengalami goncangan hebat. Terbayang dalam benakku jika dirinya harus merasakan sakit hati berkepanjangan dalam biduk rumah tangganya. Lagi-lagi aku bertanya, benarkah dalam diriku tersimpan rasa sayang karena buah dari kekhawatiran itu? Aku tak berani menjawab dengan jujur sebab luka Arini lebih dalam menancap di hatiku.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku nikmati minggu pagi ini pada sebuah jalan lapang beraspal di kebun raya. Cuaca cerah mengantar aku segera beranjak dari tempat tidur. Serombongan pejalan kaki tampak berduyun-duyun dari arah depanku. Beberapa di antaranya adalah sepasang suami isteri dengan menggandeng anaknya.

Samar-samar dari kejauhan aku menyaksikan wajah yang selama ini kukenal baik, Arini. Aku paksakan diri untuk meyakinkan arah pandanganku karena aku merasa sangsi bukankah Arini telah pindah ke luar kota?

Semakin dekat jarak pandang itu, semakin nyata bahwa wanita yang berjalan ke arahku itu adalah Arini. Aku kegirangan bercampur gugup karena pegangan tangan Arini menggelayut pada pundak lelaki di sampingnya. Sepintas kuamati wajah si pria. Mungkinkah ini adalah suaminya?

Sebelum pertanyaanku terjawab, langkah kakiku semakin mendekati wanita yang selama ini selalu berada dalam palung hatiku.

“Hai…, Abang?” aku sungguh-sungguh gelapagan karena ternyata Arini lebih mengenaliku ketimbang aku sendiri.

“Arini!?” ucapku pendek. Kuamati wajah Arini yang tak berubah dari dulu. Anak kecil yang sedari tadi malah asyik dengan kesendiriannya itu tak luput dari pandanganku, pun demikian dengan pria di samping Arini.

Sejenak kami saling tertegun. Arini mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan pria di sampingnya. Si pria tersenyum ke arahku tapi pergerakan kakinya terus berjalan kecil di ikuti sang anak. Kini tinggal aku berdua dengan Arini. Senyum tipis Arini mekar dalam bulatan kecil bibirnya sambil berkata,

“Dia suamiku yang ke dua. Kami menikah baru beberapa bulan lalu. Di kota ini, kami baru beberapa hari saja,” jelas Arini.

Aku hanya tertunduk lesu. Wanita yang dirindukan ternyata sudah kembali berada di pangkuan lelaki lain setelah sekian lama hidup sendiri tanpa kuketahui. Arini rupanya mengalah pada penderitaan dan memilih untuk menikah lagi.

“Saya lama mencari Abang. Komunikasi yang terputus tak meninggalkan jejak sedikitpun. Pada masa-masa kesendirianku saya teringat Abang terus. Jujur saya katakan, benih cinta itu sudah ada ketika rumah tanggaku mulai goyah. Tapi saya tak berani mengakui hal itu…,” urai Arini panjang lebar.

“Pergilah secepatnya. Suamimu sudah menunggu. Biarkan aku menemui kesendirian itu untuk kesekian kalinya!” ucapku lirih.

Arini menghela nafas panjang. Kakinya bergerak dengan perlahan. Sinar matanya menatapku dengan pandangan iba. Arini rupanya bisa menebak isi hatiku yang tengah meradang.

“Pergilah!” ucapku sekali lagi.

Langkah Arini kembali bergerak. Kepalanya sedikit mendongkak ke arahku seraya berbisik, “Jangan menyesal karena tak berhasil memilikiku karena sesungguhnya saya pernah jatuh cinta pada Abang. Waktulah yang tak menghendaki kita bersatu,” jelas Arini.

Aku lama terdiam. Langkah Arini mulai menyisir jalanan aspal dengan lambat. Langkahnya kian menjauh dari berdiriku. Arini, engkau masih telaga dalam hatiku, bisikku saat itu tanpa berani berharap lebih.

1 komentar:

seruni mengatakan...

cerpen nya bagus bang..

sy suka, n sy juga bisa LDR : me "Lihat", men "Dengar", dan me "Rasakan" isi dr cerpen abang.


terus menulis ya..bang
sy suka tulisan2 abang

salam :)
h_d