Senin, 22 Desember 2008

IBU, Wanita Abadi Dalam Hidupku

Seraut wajah wanita itu tersimpan penuh di dinding hatiku. Kemana aku melangkah, riaknya tak pernah mampu untuk ditahan. Sengaja kugandeng dalam ingatan, terpatri dalam hati dan tak jenuh pula mengisi jiwaku.

Sejatinya aku akan merasa kehilangan yang amat sangat jika kelak DIA memanggilnya. Usia yang kian merambat jauh membuat aku merasa khawatir dan tak sanggup untuk berjauhan. Aku sungguh-sungguh "jatuh hati" dengan asmara yang tak akan lekang oleh gempuran nasib buruk sekalipun.

Ibu..., genggam janjiku yang kubuat dalam prosa pendekku. Kutulis khusus buat wanita yang dengan hebat melahirkan aku dengan keperkasaan dan kelembutannya manakala kmembesarkanku.

Sunyi ini kubawa dalam diam
kugendong rapat di balik punggung anakmu
sesaat saja aku sempatkan waktu untuk berpaling
mencuri waktu di antara deretan kesibukan

Seperti yang kujanjikan dulu,
kubawa buah tangan seperti yang IBU MINTA
sebuah apel merah yang kubeli di pasar kaget
karena ibu sering melarangku membelinya di supermarket
"Mal dan supermarket tempat orang kaya berkumpul"
begitu IBU sering bilang...

Sunyi yang kubawa, disambut senyum tua
di balik kebaya yang kemarin,
IBU tampak cantik hari ini
aku sumringah dengan lelehan air mata di kunang-kunang
Akh...ibuku masih seperti yang dulu

Aku memeluk tubuh kuyu itu dalam erat
kusimpan hatiku dengan rapat pada ujung bibirnya
supaya aku selalu berharap nasihatnya
santun membawa diri hingga ujung penaku kiamat

Ibu...
aku harus kembali pulang untuk mengembara
tunggu aku kembali dengan buah apel yang lebih "baik
seperti janjiku...
aku kelak ingin menjadi matahari bagi hidup IBU.



Puisi ini melenakan hidupku dalam kesibukan. Tak terasa benar-benar ingin menangis. Kini ibu berada di Dusun yang jauh dari keramaian. Semoga IBU sehat selalu sepeninggalku. Aku selalu berdoa untukmu, IBU...!


Cileungsi, Hujan belum reda.

Tidak ada komentar: