Sabtu, 06 Desember 2008

Surat Untuk Bidadari

Setiap jengkal kehidupanmu tak surut selalu kuikuti. Perniknya tak pernah tertahan untuk tak kukemas dalam hati. Kujadikan pelajaran hidup jika saja aku pun akan mengalami hal yang sama, ribut, saling berdiam diri dan sibuk dengan urusan masing-masing.

Kupahami betul bahwa biduk rumah tangga akan banyak mengalami pasang surut. Tak selamanya damai, tak selamanya penuh gerhana. Itu adalah secuil romantika di mana setiap kejadian di dalamnya adalah sudah menjadi "guyonan" biasa.

Bara dalam rumah tangga tak akan menjadi besar jika sebentar saja kita mau melirik ke arah cermin dengan pantulan gambar kita. Sesaat pula kita harus berani berlapang dada untuk menerima "kekalahan" demi untuk memadamkan bara tadi.

Tak jarang, sikap mengalah justeru bisa menyadarkan pasangan kita dan menjadi bahan renungannya. Tapi tak sedikit karena sikap yang selalu mengalah, kita dijadikannya kesetan dan harus terbiasa untuk diinjak.

Kenali jiwanya dengan baik. Seorang sahabat yang baik tak akan meninggalkan karibnya manakala mengecewakan. Yang dia lakukan selalu berhati-hati terhadap tindakan si karib tanpa harus membencinya secara fisik.

Tak sedikitpun aku berharap ada riak dalam rumah tanggamu. Bahkan aku selalu mengenangkan rumah tanggamu dalam kondisi damai. Sejatinya hidup ini adalah pengembaraan di mana setiap jengkal kejadian yang terjadi pada diri orang lain adalah cermin yang bisa dipungut dan disimpan rapat sebagai pelajaran.

Aku..., bukan siapa-siapamu. ABAIKAN aku dan tak usah berpaling. Langkahmu sudah benar membelakangi aku. Jangan lepaskan gandengan tangan di samping kananmu, Bidadari!

1 komentar:

Arini mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.