Minggu, 28 Desember 2008

Dusun Kami, Kampung Kami

Menelusuri jalanan berkelok, tebing hampir sepanjang jalan di sebelah kiri, sedang di kanannya adalah jurang curam dengan kedalaman mencapai 20 meter dengan tekstur tanah nan landai. Di bawahnya sekumpulan petani kubis, kentang atau wortel bergelut melawan hawa dingin pagi itu. Mereka khusyu mencari penghidupan kendati dingin membungkus kulit. Jika dilihat dari atas, mereka tampak seperti sekumpulan kurcaci!

Perjalanan pulang kali ini ibarat nostalgia. Sebuah rekaman peristiwa yang monoton karena dari dulu hingga kini dusun kami tak banyak mengalami perubahan mulai dari inpra strukutur, ekonomi bahkan mungkin pembangunan sarana lainnya tak banyak mengalami kemajuan. Pejabatnya lebih asyik “bermain” di tingkat Pusat ketimbang turun ke kampung yang sarat jalanan becek.

Kecamatan Pangalengan jaraknya 42 KM dari pusat kota Bandung. Jika ditempuh dengan roda mesin cukup makan waktu 1,5 jam saja. Tak ada jalan alternatif, jalan yang ada itu pun peninggalan atau warisan Hindia Belanda yang awalnya merupakan jalan setapak. Untuk membuat jalan tersebut, Belanda cukup kepayahan karena harus mengikis bukit dan melibatkan lebih banyak lagi pribumi lokal.

Kampung Cipanas, adalah nama tempat kami tinggal. Disebut demikian karena tak jauh dari rumah kami terdapat Pemandian Air Panas Tirta Bidadari. Syahdan, nama ini diberikan karena jaman dulu tempat ini sering disinggahi para bidadari untuk sekedar mandi atau berendam. Sumber air panasnya berasal dari Gunung Wayang Windu, di mana hulu Sungai Citarum berada di sini.

Pemandian Air Panas Tirta Bidadari kini sudah tak seperti dulu lagi. Bangunannya tampak miring dan nyaris ambruk, kebersihan tak terjaga dan banyak pintu yang mulai lapuk. Tirta Bidadari kini benar-benar meradang. Sang “bidadari” pun tentu enggan bertamu lagi entah untuk mandi atau sekedar mampir. Bidadari, tempatnya adalah istana dan bukan tempat kumuh seperti itu. Demikian jika dianalogikan.



Sekeliling Dusun kami “dipagari” kebun teh. Sepanjang mata memandang adalah hijau daun yang membuat mata dalam sejuk. Nun jauh ke sana, perkasa Gunung Wayang Windu tampak berdiri gagah. Kepulan asap cerobong dari pipa raksasa mengepul hebat. Ya, dari sinilah pasokan listrik untuk Jawa-Bali berasal.

Jika malam, dinginnya bukan kepalang. Suhunya bisa mencapai 12 derajat celcius bahkan bisa kurang dari itu. Memasuki musim kemarau, sediakan mantel jika Anda kebetulan singgah ke dusun kami karena dingin bisa lebih dalam menembus pori-pori Anda.

Penduduknya lebih banyak berprofesi sebagai petani, peternak sapi perah, pegawai perkebunan sebagai pemetik teh atau bekerja di sector informal. Dusun kami yang damai masih tetap menyisakan bekas di mana Siskamling masih terpelihara, kerja bakti masih tetap dilaksanakan, dan manakala tidur kerap terdengar suara kodok atau jengkrik. Pun demikian jika bangun, kepak sayap dan kokok ayam akan menyadarkan kita dari nyenyaknya tidur. Itulah wajah dusun kami, kampung kami.

Bila bangun pagi, yang tentunya akan terasa dingin, penduduk di sana sudah terbiasa bahwa setiap rumah akan tersedia perapian yang berfungsi sebagai tempat memasak di mana bara yang dihasilkan dari perapian tadi berfungsi pula untuk menghangatkan badan.

Sambil menghangatkan tubuh dari perapian tadi, di atas lantai yang beralas tikar akan tersaji segelas susu sapi murni panas yang baru saja diperah. Susu itu akan terasa lezatnya jika dihidangkan dengan gula merah dan sedikit kopi.

Jika sudah jenuh dengan kehidupan kota yang sumpek, mal yang dipenuhi manekin seolah menertawakan ‘wajah’ kita, bersegeralah untuk merencanakan singgah dan mencicipi nikmatnya menjadi penghuni Dusun kami. Rasakan apa yang didapat! Jika ternyata ingin segera kembali…, tak disalahakan memang bahwa kota adalah magnet. Kembali Dusun itu sepi dan menemui keasliannya…

1 komentar:

seruni mengatakan...

Subhanallah..

indah nya..

aduh...kang...
pingin bgt dech..kesana...
Insya Allah permintaanku didengar dan dikabulkan ya kang sm Allah.
Amin..


Trims

h_d