Tulisan ini saya ambil ketika beberapa hari terbaring sakit. Penyakit tifus yang saya idap mengantar saya pada sebuah bangsal rumah sakit di bilangan Cileungsi, Bogor.
Saya hanya diantar sahabat yang sudah saya anggap sebagai saudara, namanya Enjang Abdul Nasir. Saya selalu memanggilnya dengan kata ’ustad’ karena dia seorang karyawan yang penceramah. Dia pun selalu mengistilahkan ’show’ jika tiba-tiba ada yang mengundang ceramah ke pengajian atau hajatan lainnya. Saya pula yang kebagian ngedit isi ceramahnya sebelum dilempar ke tengah khalayak.
Tuhan memberi saya dua ’teguran’ sekaligus. Di samping penyakit tifus tadi, ada jentik putih di lingkaran tengah mata saya. Mata akan terasa sakit dan jentik putih akan timbul jika lama berdiam diri di depan komputer. Jika diabaikan, maka akan ke luar air dan kedipan terasa bergesekan seperti terhalang pasir.
Bisa jadi keluhan yang terjadi pada mata saya karena keseringan membaca dengan posisi seenaknya. Atau pula karena mata sudah tak tahan dengan radiasi komputer.
Setiap kejadian akan meninggalkan bekas. Pertanda bahwa apa yang terjadi mengandung hikmah di balik itu semua. Ketika sakit mendera, betapa kematian begitu dekat. Teringat dosa-dosa dan selalu berpikir bekal apa yang kelak akan saya untuk menghadapNya. Saya teringat terus kepada ibu, orang tua saya satu-satunya!
Dalam satu kamar diisi oleh dua pasien. Keberadaan kami jaraknya hanya sekian meter dengan sekat kain putih. Di samping saya, tergolek pasien korban tabrakan sepeda motor. Khabar burung yang berhembus, si pasien hilang kendali karena dalam kondisi mabuk berat.
Hampir setiap waktu ’tetangga’ saya itu selalu meraung kesakitan. Raungannya baru reda jika kantuk datang. Tertidur pulas sesaat dan kembali bangun diserang rasa sakit.
Malam itu udara Cileungsi terasa dingin. Menginjak subuh pun demikian, malah semakin dingin. Kondisi pasien di samping saya berbeda dari malam sebelumnya, ada dengusan halus mirip orang disekap. Ada bunyi ngorok yang terdengar dan sesekali si pasien seolah berteriak dengan bunyi suara yang tak karuan. Beberapa penunggu menyadarkan dirinya agar rajin membaca asma Allah...
Anasir tubuh saya ada yang berbeda. Bulu tengkuk terasa berdiri. Saya merasakan, mungkin panas dingin akan tiba seperti saat awal penyakit ini datang. Tapi hanya sekejap bulu kuduk itu berdiri lalu hanya dalam hitungan menit khabar dari seberang terdengar bahwa pasien di samping saya meninggal dunia. Inalilahi waina ilahi rajiun...
Kerap kali saya membayangkan..., jika malam itu Malaikat Maut datang untukku mungkin rela andai harus menghadapNya. Tapi bekal apa yang saya bawa sungguh sangatlah masih menjadi pertanyaan besar. Bagaimanapun, kematian adalah satu hal yang pasti. Tapi tentu sensasi ”nikmatnya” akan berbeda pada setiap diri manusia karena bergantung kepada amal perbuatannya.
Malaikat Maut bukan berarti baik pada saya karena tak mencabut nyawaku padahal saya berada persis berada di depannya saat Sang Malaikat datang (?). Namun yang pasti jatah hidup di dunia buat saya masih diperpanjang. Kekuasaan Tuhan memang nyata adanya, malaikat suruhanNya ternyata tak salah cabut!
Sepeninggal tetangga karena harus berada di alam berbeda, saya menikmati kesendirian itu karena tak ada pasien baru yang masuk Penyakit saya cepat sembuh mungkin karena secara psikis saya merasa ’diobati’ oleh kehadiran SMS dari sekian sahabat saya. Selama dalam penyembuhan, saya berhasil menikmati suara nyaring Pak Iyan ( Chanleo ). Suaranya ringan dan tentu enak didengar pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar