Rabu, 30 Desember 2009

Senja di Bale Bambu

Jika saja engkau mau berbaik hati
tinggalkan tanda...,
kapan engkau tiba menjengukku
tak ada pesan yang kau simpan
apalagi basa-basi itu

Hilangmu pernah jadi pertanyaan
rupawanmu singgah terkadang saja
tapi ingatnya tak juga mau menepi
seperti garis yang tak berujung
meski kupenggal berkali-kali


Bukan di sebuah kelokan aku melihatmu
apalagi di persimpangan jalan
pada rumah bagus bercat renyah
asyik kemasyukmu kupergoki
pangling...

Aku sempat berlari, sembunyi
wajahmu menguntitku hingga ke ujung pintu
bila saja tubuhku dibaringkan
di bale bambu reyot depan rumahku
kantukku tak pernah hujam mataku


Hatiku tak pernah kemarau...

Senin, 28 Desember 2009

Setelah Gempa, Dusun Kami Kini krisis Air

Pulang ke Dusun adalah hal yang membanggakan. Tanah kelahiran yang dulu menjadi pijakan hidup para 'karuhun' atau nenek moyang kita ternyata telah banyak mengalami perubahan.
Demokrasi yang ingar bingarnya hanya sebatas di perkotaan, mulai merambah dusun kami. Keberadaan Geotermal atau proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas di kaki gunung Wayang telah menggerakan energi mereka untuk ikut-ikutan berdemo. Ketimpangan pembagian karyawan menjadi penyebabnya. Penduduk mensinyalir, warga setempat kurang diberdayakan.

Listrik yang dihasilkan dari pelukan Gunung Wayang Windu itu mampu mensuplai Jawa-Bali. Betapa besar keuntungan yang diraih oleh orang kota tadi, sementara yang puluhan tahun "menduduki" daerah tersebut atau warga sekitar cukup diberikan sarana jalan yang dihotmix lumayan bagus, itupun karena si empunya proyek juga punya kepentingan untuk mengangkut alat berat. Tidak murni, bukan?

Gempa yang menerjang dusun kami tak hanya meninggalkan puing, tapi juga air mata yang masih tersisa. Ketika gema takbir menjelang Idulfitri berkumandang, sebaian warga masih pasrah dipelukan tenda sederhana dengan penerangan seadanya. Baju baru yang dibeli buat keesokan harinya seolah menjadi tak berarti karena mereka bingung kemana akan bepergian.

Hari Raya yang seharusnya bertabur kebahagiaan, cuma sebatas khayalan. Gempa telah mengubur impian mereka begitu dalam. Dengan sendirinya pula mereka melupakan hiruk pikuk pesta perayaan Idulfitri dan lebih asyik membenahi genting yang bocor, dinding yang jebol, atau mengurus kematian tetangga yang tertimpa reruntuhan.

Batu ujian tak sebatas di situ saja. Krisis air kini tengah dialami dusun kami. Amat sangat mengherankan, di tanah yang subur di mana dulu air begitu mudah didapat kini justeru kerontang. Tak ada lagi pancuran bambu dengan air yang menggelontor. Tak ada lagi selokan yang membelah kebun teh jika dilihat dari udara tampak seperti seekor ular yang berjalan di semak-semak.

Kecerdasan dan teknologi telah merambah dusun kami. diubahlah sistem pembagian air kepada penduduk dengan ciri "dikirimkan" ke rumah masing-masig. Penduduk tak usah repot menjinjing ember dan memikul cucian piring atau baju kotor ke pancuran karena air sudah dengan bersahabat mengajak tangan kita tinggal memutarkan kran. Cur, air sekepalan ibu jari dewasa menggelontor dengan hebat.


Teknologi bisa membawa kemudahan, tapi juga tak jarang bisa membawa kemudaratan jika tak arif-arif amat menggunakannya. Syahdan, air menjadi berkurang karena pelataran hutan kini mtelah berubah wajah menjadi tanaman kentang, kubis atau wortel. Sumber resapan air telah menjelma menjadi "supermarket" sayur mayur di atas bukit, di mana dulu ratusan bahkan ribuan pohon berdiri gagah menghadang erosi.

Kini nyaris tak ada lagi gemericik air. Air baru datang jam 9 malam, jika tak punya penampungan maka tubuh akan diistirahatkan untuk rela tidak mandi sampe berhari-hari. Pancaroba tak hanya berlaku untuk musim saja, otak manusia juga bisa mengalami hal itu jika keuntungan sudah dianggap tak ada lagi peluang untuk didapat.

Jumat, 11 Desember 2009

Kekasih-kekasih di Ujung Langit

Jika engkau adalah panutan ragaku
dan bila saja nyanyian itu selalu untukku
singgah rindumu kunanti sepanjang hayat
melumat aliran dengus nafasmu seusia bumi

Berikrar aku dalam hati
perempuan abadi yang tersimpan rapat di hati
kukencani sepanjang malam
dan membiarkan bulan berjalan lamban
aku tak ingin malam cepat berlalu

Riak gelombang nan pasang surut
kukayuh bersama hingga menepi di dermaga itu
aku tak akan lalai menggamit tanganmu
perkasaku rela kujadikan tameng

Seserius itu aku bermimpi
khayalku memang nakal meski tak kukenal
dengan siapa aku telah "senggama"
dengan sembunyipun aku tak tahu jawabnya

Rupawanmu terkubur rapat-rapat
masih di balik selimut yang kemaren
dengan rengekan manja yang lalu-lalu
dengan lelaki yang itu-itu juga

Khayalku hilang di ujung malam
kokok ayam menjamahku untuk tersadar
sempurna nian malam ini
esok, bilakah engkau masih bisa "kukencani"?




Gunung Potri, 11122009
Untuk Karib di Kota Bandung, maaf jika ini dianggap sebuah kelancangan. Met Ultah, Panjang umur ya....

Selasa, 27 Oktober 2009

Seroja Taman Hati

Bisa jadi inilah hasil karya kesekian setelah lama aku tak bisa "bertelur",. Dusun ini tertinggal jauh dan tak pernah aku isi dengan perkakas berupa coretan. Tersebutlah seorang ibu muda, penampilannya tak bisa dibilang sederhana. Jaman telah menuntunnya menjadi pribadi yang berusaha "mengikuti alur", bersedekah pada kemanjaan diri dan melenakan keanggunan dengan caranya sendiri.

Telisik dengan kelopak matamu, dia memang tak secantik bidadari tapi senyumnya memberi inspirasi. Obrolannya pernah bersarang di otakku, turun ke dalam lipatan hati lalu bersembunyi dalam ingatan.
Dirinya, mempunyai kerinduan tak terperi pada kedua orangtuanya. Sebuah pengabdian nurani dengan logika yang sangat wajar!



Coba dengar rintihan ini...!


Kini aku tak menemukan lagi...
seraut wajah kemaren berdaster jingga
dengan polesan wajah nan bersahaja
memunguti kehidupan dengan cara berbeda
meski hatimu sebenarnya pernah terluka
diammu seolah pertanda surga.

Aku tak lelah untuk mengingatmu
berkirim doa tak hanya sekali sepekan
tapi juga setiap dengus nafasku
memberi ruang terlapang, dengan zikir
dan syair sembah sujudku.

Sesekali aku sering mengintip
di sela hati yang kukorek kembali ke masa silam
agung nian engkau punya pribadi
luluh santunmu ajari aku untuk bertutur
aku meranggas merindukanmu, Ibu...

Kini aku tak menemukan lagi...
wajah tampan berkalung sorban
yang kadang terdiam di pojok rumah
secangkir teh dan koran pagi adalah temanmu
membekas dalam ingatku, bermuara hingga ke hati

Marah sepagi itu yang kau berikan
luluhkan jiwa nakalku untuk sembunyi
merapat dalam telunjukmu dan bersandar dalam titahmu
aku ketakutan, tapi juga terlindungi
Aku rindu dendam untuk menemuimu, Bapak...

Sepenggal cerita jatuh satu-satu
kemolekan duniawai membawaku dalam dahaga
dahaga untuk menikmati bersama mereka
memberikan kasih sayang seutuh kain
tanpa renda, tanpa jeda, tanpa jahitan...
ketulusan abadi dari ankmu...

Tersenyumlah, wahai jiwa yang tenang
ankmu, akan mengukir namamu dalam balutan doa
yang berselimut ribuan zikir
mereka, SEROJA di taman hatiku




Terimakasih buat Teteh di Soreang-Bandung atas inspirasinya. Maaf beribu maaf jika ada kata-kata yang tak berkenan. Protesnya aku tunggu!

Selasa, 08 September 2009

Dusun Kami, Berduka Menjelang Buka Puasa...

Aku tak bisa menulis terlalu panjang. Kesedihan adalah untaian keragaman yang setiap hari ditemui. Duka adalah selubung yang selalu ada pada setiap detik karena gempa susulan bakal terjadi. Hidup di tenda, inilah sebuah pesona yang diberikan Tuhan. Alam mungkin tengah menggugat....






Sabtu, 29 Agustus 2009

Kepada Lelaki "Pengembara"

Sahabat baru saya memang pernah mengungkapkan dalam coretannya bahwa puisi itu adalah sebuah kecengengan karena setiap dirinya jatuh cinta, kumpulan unek-uneknya yang tersimpan dalam hati lalu keluar dalam bentuk "keusilan" yang tak urung isinya adalah air mata.

Disebutkannya pula, selain kecengengan tadi, dirinya sempat berujar bahwa apa yang ditulisnya merupakan sebentuk pemberontakan terhadap keadaan yang mendera dirinya. Rasa kecewa dan kepedihan yang ditimbulkan oleh sang Arjuna membuat ia merasa perlu untuk kecewa tapi tidak untuk menulis puisi. Kenapa?

Bisa jadi apa yang saya tulis adalah sebuah kecengengan. Atau pula sebuah karya seni dengan inspirasi sebuah kekecewaan itu tadi. Cengeng atau tidak, nikmati saja karena hidup akan terus digelayuti perasaan tak puas jika melulu bicara kecocokan. Hidup ini adalah beragam!


Bila saja engkau pernah mengendap dalam basah jiwaku
kuyakini sepenuh hati engkau kini bagian ragaku
sengaja kubakar rasa cemburu dengan dandanku
kelak engkau tak berlari dariku

Murni rasa yang kuberikan,
kau teguk angkuh dengan sangat dahaga
aku tersenyum puas sepenuh harap
sepenggal sejarah hidup akan diisii bersamamu

Bulan murung mengais awan
hujan selangkah mengguyur bumi
kesetiaan laksana laknat durjana
rupanya engkau mulai menginjak di lahan basah
berselingkuh pada beda alam. Aku terluka

Jika sudah begini...,
padamu aku tak menemukanmu sebagai lelaki
padamu aku tak mendapatimu sebagai pria
janji hati hanya melekat dalam sesaat
lalu hilang dan kembali mengembara
aku terluka..., Aku tak percaya...


Thanks To Risa di Gresik atas inspirasinya.

Kamis, 09 Juli 2009

Kepada Penguasa Alam

Tentu saja aku masih bisa tersenyum kendati blog ini sangat jarang aku jumpai. Tapi juga merasa sedih, seperti luka yang membiru, terasa denyutnya hingga membekas di sayatan hati.

Kepada siapa aku mesti berbagi ketika otakku tak menyimpan secuilpun sesuatu untuk ditulis. Gelapnya melingkar hati dan perasaan lalu membekas di otakku untuk tidak melakukan perintah untuk menulis hal apapun.

Kehilangan telah menjadikan aku begitu buntu. Kreasi hanya tersimpan di sudut kamar pengap dan menggelinding menuju tong sampah. Ketika kutengok, sudah sangat penuh tapi tak satupun yang berwujud. Ya, semua adalah sampah!

Coba dengar keluh kesahku wahai Penguasa Alam. Beri aku sedikit waktu untuk mengubah hidup kembali ke titik awal ketika aku tengah menerima "anugerahMu", seseorang dengan banyak pesona dan tak pernah menidurkan aku untuk tidak menulis.

Aku pulang...

Jumat, 29 Mei 2009

Mengukir Bayang-Bayang

Aku hanya bisa menemukanmu di ujung tidurku.
Berselimut perasaan yang mulai sering mengaduh,
kini pilumu tak lagi bisa aku dengar.

Aku mencoba untuk bertahan dalam perasaan yang sama,
tak berubah dan berdiri kokoh dalam heningnya.
Seperti pelangi, engkau memang banyak warna.
Kutemui sosokmu yang kemarin dan ternyata masih seperti yang dulu.

Kesetiaan rupanya hanya menghasilkan siksaan
kesetiaan hanya menghasilkan penantian dengan ujung seperti pisau
sesaat bisa membunuhku dan menyisakan luka kendati tiada tampak
kesetiaan adalah rela untuk dijadikan apa saja...

Aku pernah mengukirmu dengan bayangan serba indah
kuraba sangat hati-hati dan ternyata tak bisa kurasakan
ketika tanganku terkepal, angin hanya bisa berlalu
sepertinya, aku harus mencari kembali kepalan itu.

Minggu, 24 Mei 2009

Ilalang Semusim Jagung

Lama ditinggalkan, sisi kiri rumah pekarangan ini tampak kuyu kelabu. Sangat tak terawat. Pintu yang mulai sulit dibuka karena karat telah lama mengendap menjadi tambah kekuningan. Cuaca yang datang tak menentu membuat rumah ini kesepian dalam penantian yang tak berujung. Aku rupanya telah kehilangan makna untuk berkata-kata. Seisi pikiran tiba-tiba mengendap dalam balutan yang hampa, nyaris seperti awan yang sebenatr menggulung, sebentar ditiup angin.

Coba dengar wahai Kumbang Dusunku. Kini Aku datang hanya untukmu...


Khabar baik, bukan?
Akha..., engkau termangu begitu
kemana kebiasaanmu bersungut seperti senja dulu
ocehanmu lantang mengisi bening
kini punggungmu tampak membelakangi aku

Aku rupanya lelaki biasa
yang tak bisa berkata-kata tanpa isi hati
menipu menjadi mesra aku tak bisa
apalagi harus bermain sandiwara dalam lakon
aku lah lelaki kekinian
yang mencoba bicara seperti apa yg ada di hati

Sesekali aku sering memungut cerita sahabatmu
yang katanya sudah jemu untuk bertamu
terlalu sibuk menata rumah, walau hanya meletakan gelas
tiada keabadian memang....

Semusim jagung aku meninggalkanmu
tak banyak jejak yang terekam
aku tetap berada di sampingmu
mereka ulang isi cerita dengan tokoh yang berbeda
semoga kali ini memang lain...

Senin, 06 April 2009

Nyanyian Kumbang Dusun

Kurus kering rupa gagahmu
dicabik muka ayu semalam suntuk
Hadir dalam mimpi seperti kemarin
Mengajakmu pesta asmara

Hanya mimpi yang engkau gauli
Nikmatnya hanya sebatas harap
Otak menyimpannya begitu rapi
Hingga engaku telanjang di dirinya

Obral janji dalam semedi
Dibiarkan mulutmu ternganga
Jutaan pengakuan dimamahnya
Tak ada seringai bahkan senyuman
Seperti mimpi, tiada rasa tiada apa
Dia diam tak mengacuhkanmu

Kurus kering wajah hebatmu
Terbujur kaku dalam jambangan
Tak lagi elok bunga dan daunmu
Puisimu tak lagi menggugah
Diinjak malam dan siang sepekan
Air itu kian jauh meninggalkanmu
Semua tak ada yang abadi…

Paksakan saja untuk tersenyum
hidupmu adalah milikmu
jalankan kayuh sampanmu
hingga menepi di dermaga itu

Dusun Kami, 060409/1417

Kamis, 26 Maret 2009

KOSONG

Cukup lama aku tak mengencanimu
Jika ternyata harus datang...
itupun selalu dari kejauhan dan hanya memandang saja
tak ada bahan tulisan yang kusimpan
hingga aku rela untuk berpaling kepada aingin

Otakku begitu padat dengan coretan
tentang kamu, engkau juga mereka
Tak satupun yang kusimpan, terasa bias
senyap yang kumiliki serta merta sirna
sebab yanga ada hanyalah tarian kesendirian
dengan sudut bibir yang terasa masih bagus

Bibir yang kini terus terkatup
Singgah pada sebuah keabadian
lunglai dalam pelukan awan putih
melulu bercerita tentang ketidakberdayaan
untuk menari dalam gamelan sedu sedan itu

Kembali aku akan terlambat menjengukmu
buah pikiranku sedang terantuk bebatuan
ada kekosongan pikiran dan kesulitan berkelana
seperti kembang kertas, gugur bersama senyapnya angin
entah kemana aku harus mencari
membangunkan dari 'tidurnya' sungguh tak mungkin
karena aku "TAK TURUT MENYELIMUTINYA"

Engkau sepertinya tahu dengan apa yang kutulis...

Senin, 09 Maret 2009

Kepada Sahabat ( Bisa Karena Biasa )

Apa khabar, sahabat?

Sebentar lagi matahari akan dengan lekas sembunyi. Merapat di balik ufuk dan baru muncul esok hari. Rindu pada sinarnya dan selalu menginginkan terang itu datang setiap detik, tapi rupaynya tidak bisa karena malam hari akan segera menggantikannya. Bersyukur jika malam ini ada bulan, tapi itu pun muncul nanti setelah sepertiganya.

Kita benar-benar tak bisa melawan alam. Tuhan telah menggariskannya dengan tepat bahwa rotasi tidak bisa dirubah oleh manusia. Jika toh bisa mengubah, itu pun dengan bantuan lilin atau obor, tentu terangnya tak sehebat matahari.

Apa yang kita jalani juga adalah sebuah rotasi dan perputaran jalan hidup. Setiap manusia membawa sejarahnya masing-masing. Pahit dan manisnya sabar kita jalani. Suka dan dukanya pasrah dijalani. Curam dan terjalnya rela kita daki, biar semua berakhir dengan pahala. Ya pahitnya, ya manisnya.

Engkau tentu sedang berlomba menghadapi pahit manis itu, bukan? Manis karena apa yang engkau minta sesaat lagi akan jadi kenyataan. Sebuah permintaan khusus sering kau senandungkan lewat sujudmu. Meminta pada YANG PUNYA HIDUP untuk diberikan lagi satu penerus, supaya buah hatimu yang telah lama hadir tak merasa kesepian.


Pahitnya, jika boleh dibilang demikian, adalah romantikanya satu episod di mana itulah seninya orang yang tengah "DIKABULKAN" permintaannya. Maksud Tuhan mungkin adalah supaya kita lebih menghargai atas pemberiaNya jika kelak kita lupa untuk bersyukur.

Aku, sebagaimana engkau tahu, bukanlah malaikat. Manusia biasa yang tentunya punya sisi buruk juga, seperti engkau, mereka dan juga milyaran manusia lainnya. Hitamnya hidup, merupakan bagian dari sisi buruk itu sendiri. Apa yang tengah engkau alami merupakan sisi manis sebuah kehidupan. Jangan dibuat hitam dengan keseringan mengaduh. Kuatkan saja, tersenyum dalam ikhlas, dan tentu..., selalu tabah menjalani.

Seperti matahari, aku selalu rindu untuk datang menyapamu. Tapi rupanya cuaca sedang tak bagus karena sebentar mendung, sebentar cerah. Lain dari itu, engkau sedang fokus pada jadwal hidupmu, mengantar dan memanjakaan buah janin itu.

Jalani semua dengan tabah. Inilah kehidupan. Semakin nikmat direguk, semakin sering kerikil yang akan kita lalui.

Dalam damai hati ini, aku tak pernah lupa berharap lebih baik pada jalan hidupmu. Barangkali aku tak akan merugi jika dalam sujudku menyelipkan sebait doa bagi hidupmu...

Kamis, 05 Maret 2009

Senyum Matahari

Hening yang kita punya adalah milik bersama. Tapi cahaya yang kau miliki adalah seutuhnya milik diriku. Tak sempurna memang sinar yang kau miliki. Kendati redup, selalu kuburu karena setiap saat ingin bersamamu.

Sepertinya aku telah kehilangan sinar itu. Kukejar, nyaris ke semua penjuru. Mencari berita dan berusaha meneropong melalui mata hatiku. Engkau belum juga kutemui di mana geragan berada.

Barangkali sebagai obat manakala hatiku terkikis karena mengingatmu, nyaris seperti mengigau aku berteriak dalam hening itu. Malam yang menusuk tulang...


Aku ingin menyusupmu
pada bathin kecil tak bertajuk
meraih isi hatimu
dan dikepal untuk selamanya

Ringkih yang aku punya
tak berarti aku harus menjauh
apapun dirimu, tetap bagian sisi tubuhku
wajah selembut embun itu...
menyayat hati sedetik tak ditinggalkan

Kuberi nama sebagai Senyum Matahari
karena engkau adalah penerang
pelukan hangat yang sempat terjalin
lalu melepuh dengan perlahan
pergi dalam ketidaktahuan

Senyum ini...
tentu abadi hanya milikmu seorang
rangkul aku dalam cuaca apapun
sebab aku adalah gunung bagi hidupmu
kemarilah,wahai Mmatahariku...

Rabu, 25 Februari 2009

Kepada Jiwa yang Sendiri...

Dalam basah hujan kehidupan terus berlangsung. Luka hatiku sejuk menepi robek, tersirami. Jalanku cepat terayun. Menuju daun pintu yang telah lama terkunci. Tak ada jeda untuk berhenti, kendati sampai menangis darah sekalipun. Jarum jam terus berdetak. Pergi meninggalkan waktu dan jutaan sejarah manusia. Tak ada keberpihakan, kendati aku tengah meradang, merintih dalam sakit. Nyaris sempurna, tak ada yang peduli kendati hanya kata-kata!

Aku mungkin harus berhenti mengemis. Puluhan tonggak dan kepalan harus rela kusimpan dan hanya hati yang tahu. Kuat atau tidak beban itu aku pikul, rasanya tidak penting karena aku telah berusaha menajdi manusia layaknya manusia. Kali ini aku hanya ingin merintih...


Air hujan dan tangisan tiada beda. Beningnya sama mengalir..

Sejak aku ditinggalkannya
luluh lantak benar jiwa ragaku
seperti dihantam ribuan pelor
kelakarku hilang dalam ingar

Coba sembunyi dan rajin menepi
lukaku tetap tak hilang
gambaran nyata siulanmu itu
selalu terkepal dalam ingatku

Seharusnya aku diam
diam seperti yang engkau mau
sembunyimu selalu bisa kuikuti
kendati rapat benar kau selimuti
di mana 'tubuhmu' aku bisa rasakan

Engkau sepertinya ingin pergi...
dan aku harus bisa memberimu jalan
kelapangan jiwa tanpa luka
kebeningan hati tanpa tangisan
Kali ini aku akan pasrah...

Rabu, 18 Februari 2009

Perjalanan dan Kunang-kunang

Baru saja adzan subuh lewat. Pagi yang seharusnya ditumbuhi hujan kali ini justeru tampak sebaliknya; beberapa bintang ada di atas kepalaku, di langit yang sudah tak lagi biru karena awan seolah-olah dengan perlahan saling menepi menuju bibir bumi.

Keindahan yang didapat kali ini terasa lebih sempurna. Alam telah memberikan banyak hiasan bagi jagat raya dan isinya. Berbaring gunung dengan tidur yang juga sempurna. Ngigau air terus berbunyi dengan gemericiknya. Alam, selalu dengan setia "menunggui" dan memapah kemana manusia akan pergi.

Aku sesaat hanya merenung. Pada secangkir air yang sudah dingin karena dibekukan alam tanganku terkepal penuh, mendambakan kehangatan yang tersisa dari cawan tadi. Aku tak mendapatkan apa-apa selain rasa dingin yang kudapat. Aku sempat menyesal, kenapa tidak sedari tadi rasa hangat itu kuraih selagi air masih panas. Aku awalnya tentu menyesal karena tak mendapatkan kehangatan itu. Lama berdiri dalam penyesalan dengan keputusan yang telah kubuat malah menambah pikiranku terjadi pertarungan sengit, seperti keputusan setengah hati saja...

Aku mencoba untuk berdiri. Di sisa keremangan yang hampir habis sebuah cahaya tersembunyi di balik rindang daun. Nyaris tak terlihat bahkan! Tapi cahayanya masuk begitu dalam menembus mata. Aku sempat silau, tapi indahnya membuatku terpesona. Dalam remang bintang dan malam yang hampir habis, aku masih menikmati cahaya kunang-kunang itu. Seperti sinar yang dipancarkannya aku bisa bercerita tentang alam sekitar, hati yang gundah karena jatuh hati, kecintaan kepada orang-orang terdekat dan juga rasa kagum terhadap ibu.

Kunang-kunang itu lalu kudekati. Sinarnya tetap benderang. Tapi aku merasakan lain. Pesonanya sedikit terhalang ranting kecil hingga tubuhnya yang mungil nyaris terjepit. Sebuah persoalan dilematis karena di sisi lain ia harus tetap bertahan hidup dengan nuraninya, di sisi lain dirinya merasa dilukai oleh ranting kecil itu.
Tak lama kunang-kunang itu menderita. Proses alam telah menolongnya. Inilah yang namanya 'pertolongan entah...'

Tentu aku merasa kagum. Dengan kekuatan hidup sebegitu besar telah menjadikan kunang-kunang demikian perkasa di tengah raksasa-raksasa lain.
Jika saja malam tak akan menemui siang, aku tentu akan lebih betah "menemani" kunang-kunang pagi itu. Tapi rasanya tak mungkin karena dengan segala keterbatasan yang diberikan Tuhan, sinarnya hanya akan dinikmati manakala kegelapan datang.

Tentu saja..., aku merasa kangen menemui dini hari seusai subuh, bertemu kunang-kunang. Kalau saja aku punya kuasa..., aku ingin sekali meminta kepada Tuhan untuk "mempersunting" kunang-kunang itu. Tapi Tuhan "menolak" dengan tegas bahwa kunang-kunang itu sudah dimiliki oleh kegelapan.

Perjalanan yang indah. Hanya beberapa menit saja tapi nikmatnya hingga ke sanubari. Mungkin bisa terkenang sepanjang hayat dan membekas sempurna dalam ingatan.
Terima kasih, Kunang-kunang!

Jumat, 06 Februari 2009

Lagi, Aku kalah!

Sekeping hati yang mulai layu
Digulung rasa dingin sesuntuk ini
Penantian panjang yg entah kapan berakhir
Akhirnya aku lunglai bersandar hampa

Gerangan engkau tak mau tahu
Dengkurmu tak sanggup kudengar
Jauh di lubuk hati yang tercabik
Sosokmu tak jua kutemui malam itu

Mengiba pada keadaan adalah kesia-siaan
Bergandengan hanya pada saat merasa kesepian
Yang tersisa hanya segumpal rasa bersalah
Lau aku kembali dalam kekalahan

Lawanku kali ini adalah keinginanku
Yang selalu kukuh bersarang dalam hati
Tak juga mau enyah
Kendati telah kuusik berkali-kali.

Aku kehilangan kata-kata…!

Rabu, 04 Februari 2009

Keinginanmu Adalah Perintah Bagiku

Benar apa yang dikatakan bahwa perasaan simpati terhadap seseorang bisa menjinakan keliaran kita. Tiba-tiba saja kitapun tunduk terhadap perintah, menjadi pribadi yang jinak, penurut, dan dengan segala “kerendahan hati” begitu mudahnya mampu menjelma menjadi orang lain.

Apapun namanya, lakon hidup harus terus berlangsung kendati aku mesti memerankan dua nama dalam satu tubuh. Sebuah penyelamatan gemilang, tapi itu tadi, karena tak biasa dan tak tega aku sempat protes. Tapi engkau dengan senyum bagusnya berujar pendek bahwa ini jalan aman menuju sebuah “keinginan”.
Hm…, aku hanya bisa tersenyum dalam hati. Sabar…, inilah resiko sebuah keinginan tadi!

Aku, sebagaimana engkau, tentu lebih banyak tersenyumnya dengan sandiwara seperti ini. Ketika tulisan ini kubuat, engkau mengaku tak sabar ingin segera membacanya. Aku tentu bahagia karena itu berarti engkau belum bosan menikmati ocehan serta celotehanku. Di sisi lain, aku sempat kehilangan kepercayaan untuk menulis karena bisa saja isi tulisanku tak lagi “menendang pikiranmu” hingga akan terasa hambar. Beruntung, engkau mengakui bahwa kini sudah terbiasa dengan curahan bathinku. Tak ada lagi degup jantung dan anasir tubuh yang menggiggil. Semua mengalir biasa-biasa saja. Apa benar demikian, wahai pribadi yang selalu kukenang itu?

Cukup lama aku tak mencicipi kemarahanmu seperti dulu, buah dari cemburuku. Tulisanku tiba-tiba mandul tak berisi. Garing dengan plot datar dan serasa tak menyentuh. Kini, kendati tak dalam kondisi marah, aku justeru bisa menulis karena sandiwara itu. Aku harus menjelma menjadi seorang pribadi gaul dengan gaya tak lagi jadul. Sempurnalah kini jalan hidupku. Bagaimanapun engkau telah menemukan hasrat menulisku dengan cara yang unik, dengan sensitifitas yang juga bisa dibilang tak lazim.


Keinginanmu seolah menjadi perintahku. Cepat berreaksi tanpa jeda untuk berpikir terlebih dahulu. Semua seolah sudah dikemas dalam kantong bernama ‘spontan’. Sungguh-sungguh aku tak pernah paham dengan kejadian seperti ini. Engkau telah menjadikan otakku begitu giat berpikir. Menjadikan hatiku rajin bersemedi untuk menemukan kata-kata baru, bahasa-bahasa santun hingga mampu bersarang di lubuk hati terdalammu.

Malam ini entah milik siapa. Hujan di sekeliling tak juga reda. Jika saja saat ini engkau telah tertidur…, kurasa belum karena engkau masih menunggu isi hatiku yang sengaja kutulis untukmu. Andai saja benar engkau telah terlelap…, semoga kantuk yang datang bukan karena bosan menungguku…, tapi kantuk itu datang karena keinginanmu menunggu hari esok supaya lekas datang.

Kamis, 29 Januari 2009

Yang Pergi Bersama Hujan ( Engkau yang Mulai Sulit Kutemui )

Rintik hujan jatuh satu-satu. Sekeliling tampak basah, kendati tak seluruhnya tersirami. Aku mulai mencari tempat berteduh setelah sekian lama berkeliling mengitari jalanan.

Sepasang muda-mudi nyaris menubrukku, takut hujan besar mengejar mereka. Si pria menggandeng tangan si wanita berambut panjang itu. Berkali-kali dia mengajak berjalan lebih cepat dengan memanggil namanya, "Cepat jalannya, Rin!"

Dahsyat, aku sepertinya tengah mengandaikan sebuah episod romantisme itu sebagai pelakonnya. Sesaat, aku terus menujukan arah pandangannku pada mereka. Nama yang selalu kuingat betul dalam hatiku itu terus menjauh dalam gandengan hangat si pria.

Kulirik untuk yang ke dua kalinya di belakangku, mesra mereka tetap terjaga kendati sudah hampir hilang dari pandanganku. Benar..., mereka lenyap di balik rimbun pohon Jalan Ambon yang rindang itu.

Sama seperti mereka, kini aku ingin bertaya pada sang pemberi inspirsai. Kenapa engkau mulai sulit ditemui?
Rintik hujan belum reda..., singgahlah barang sejenak!

Sabtu, 24 Januari 2009

Tanpa Judul

Aku terharu sekaligus sedih mendengar ceritamu, wahai Bulan Purnama. Tapi sungguh, aku tak bisa berbuat banyak untuk bisa meredakan 'gerhana' yang kini tengah kau alami. Aku, hanya bisa berjanji untuk mendengar ceritamu meski sampai pagi sekalipun.
Cerita bahagia dan duka bagiku sama bagusnya karena semua mengandung nilai-nilai positif, sebagai pembelajaran karena semakin mau mendengar, semakin matang kita berpikir.

Bila saja langkahmu akan terus diayunkan untuk membina kebersamaanmu dan diyakini sebagai jalan terbaik, lakukanlah! Isi hati kadang selalu menuntun pada arah yang lebih baik ketimbang sentuhan otak kita yang kadang berisi banyak 'siulan nakal'.

Yakini saja bahwa apa yang terjadi adalah sebagai romantikanya sebuah kebersamaan. Biduk rumah tangga seperti dikelola oleh dua nahkoda. Jika tak ada kebersamaan, maka si perahu akan oleng dan dihanyutkan gelombang pasang.

Tegar yang kau miliki sejatinya bisa menjungkir balikan isi hatinya untuk menjadi luluh. Membuang sifat 'kekanakannya' untuk memungut mainan temannya. Bagaimana bagusnya mainan itu, seharusnya dia sadar karena yang dimilikinya lebih elok dan ayu.

Aku sesungguhnya kehilangan kata-kata untuk menuliskannya. Tapi gerhana yang kau alami sungguh-sungguh membuat hatiku ikut khawatir bahkan terpikirkan di benakku. Jika saja engkau ada di depanku..., tentu semua akan menjadi lain.

Bandung tengah dilanda hujan. Semua jalanan beraspal basah oleh rintiknya. Tak ada bulan, sama seperti yang kau alami..., Bandung pun tengah gerhana. Tapi riak kehidupan tetap berjalan. Lampu sorot benderang hingga bangunan kota bermandikan cahaya, ribuan pejalan kaki asyik memenuhi jalan protokol.

Sama seperti keadaan kota itu..., kehidupanmu pasti akan terus berlangsung. Jika saja gerhana itu terjadi kini..., semoga cepat berakhir. Semoga!

Selasa, 20 Januari 2009

Mimpi Kecundang

Kenyataan pahit tak hanya bisa dialami dalam kehidupan. Di dalam ilusi seperti mimpi pun, kelunya kehidupan bisa hadir kendati tidak sesempurna di kehidupan nyata. Kenapa mimpi bisa terjadi? Jangan dipusingkan untuk mencari jawabnya. Nikmati saja bahwa itu sudah jadi bagian proses kehidupan.

Jika saja orang berpikir bahwa mimpi adalah bunganya tidur, alasan ini tak bisa disalahkan. Pun demikian dengan orang yang berpikir bahwa mimpi datang karena separuh pemikiran di otak kita adalah obyek yang kita impikan tadi.

Lalu bagaimana dengan mimpi yang lahir karena sebuah ketergesa-gesaan di mana waktu seperti mengejar hingga mimpi itu terpotong di banyak kisah?. Keluh kesah itu bisa terekam di beberapa lirik berikut ini. “Pertemuanku” dengan wanita dalam mimpi itu diulur dalam sebuah prosa layu. Coba simak dengan perasaan yang biasa-biasa saja!



Sepertiga malam yang aku lewati
Engkau sengaja singgah, nyaris mengejarku
Di tepian malam, dingin menusuk tulang
Sosok ayumu sejenak kunikmati dalam diam

Anggun nian pesonamu malam itu
Kutangkap jinak dalam ruang mataku
Sembunyi di dalam sanubari
Sekeping hati itu berbicara gagu
Karena aku tak seperti yang kau mau(?)

Tak acuh engkau berkerling,
senyum hambar basa-basi
Hatimu seperti berkelit
Berlari untuk menghindariku
Aku berdiri dalam gagap

Malam kecundang,
dalam gagu aku berontak
Aku benar-benar kalah seperti pemabuk
Menggelinding jauh ke lorong waktu
Tersuruk dimamah malam.

Senin, 19 Januari 2009

Assalamu Alaikum Wr.Wb..., Aku Telah Datang

Alhamdulillah...
Pada sore sebagus ini aku telah kembali datang. Melihat "rumahku" yang sekian lama aku tinggalkan. Membuka kunci, memasuki halaman rumah,tak urung membuat hatiku sedikit bergetar, takut bila saja rumahku kesepian sendiri. Aku yang punya, tentu rindu ingin kembali berbagi dengan kalian.

Kepada Allah SWT aku sungguh-sungguh bersyukur atas nikmat yang telah Engkau berikan. Perjalanan jauh yang aku tempuh untuk "mencariMU" telah aku lewati kendati jalanan terjal selalu menghadang.

Pada sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan ingar bingar kehidupan kota, aku 'hinggap' pada sebuah pondok. Bersemedi dan bersetubuh dengan kehidupan ratusan santri. Keseharian yang damai aku peroleh karena yang ada hanyalah alunan Ayat-ayat suci Al-Quran serta nyanyian takbir dan dzikir.

Kalian tentu tak menduga jika perjalanan kali ini bukan sebuah wisata dimana yang dibayangkan adalah suasana penginapan kamar mewah serta empuknya daging suguhan hotel berbintang. Ya, saat itu aku berada pada sebuah pucuk kampung bernama Gajrug, letaknya sangat jauh dari kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten

Di sini..., aku banyak menemukan banyak hal. Kesederhanaan hidup, pola pikir yang lebih matang dan tentu..., "persetubuhan" kami dengan Sang Khalik bisa begitu syahdu kami rasakan. Kelak..., aku ingin kembali menemuiMu...

Ya, aku kini telah kembali...!

Minggu, 04 Januari 2009

Pulang

Rumah baruku..., aku akan pergi entah untuk beberapa saat lamanya. Pekarangan rumah ini nantinya mungkin akan ditumbuhi ilalang karena tak ada lagi yang mengurus.
Tamu yang datang tentu akan merasa jenuh karena isi perabotannya hanya itu-itu saja. Aku akan berkelana menuju sebuah tempat.

Jika saja aku benar meninggalkanmu, jangan pernah meraas kesepian karena aku pergi untuk mencari 'matahari' yang lama kurindukan. Sinarnya, tak hanya untuk aku, tapi juga dirimu bahkan mungkin orang lain. Aku sungguh-sungguh merasa berat karena perpisahan selalu menyisakan kenangan, juga bersisa duka.

Kepada tamu yang pernah singgah, aku menikmati sekali kata-katamu yang tersimpan di kolom pesan itu. Tak banyak yang kuberikan memang, karena inilah yang kupunya.
Kepada kalian, Arini di Palembang, Seruni di Marelan, Kota Medan juga Rara Keluh di Belanda, kalian adalah orang-orang yang turut serta memberi warna kepada blog ini!



Kendati dengan sembunyi, aku berikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Sang Pemberi inspirasi atas tulisan ini. Engkau tetap cahaya tak hanya bagi dirimu, keluarga tapi juga untuk diriku bahkan mungkin orang lain.

Kehidupan tak selamanya dalam benderang. Redup sesekali akan datang sebagai batu sandungan atau pula sebuah ujian. Ketika berada dalam keredupan tadi, betapa hidup merasa terkhianati. Tapi sesungguhnya tak demikian jika kita sadar, bukankah kesejatian itu akan kita sandang manakala kita berhasil melewati jalan terjal tersebut?.

Malam sudah larut. Sekali lagi aku akan pergi. Jaga rumah ini supaya tak ditumbuh ilalang...!
Kelak aku pasti datang dengan tangan terkepal. Buah tangan entah untuk siapa...
Kepada Sang Pemberi Inspirasi, semoga engkau selalu dalam kondisi baik-baik saja...

Sabtu, 03 Januari 2009

Pelangi Dari Nusakambangan

Seperti hari yang lalu, hari ini dan mungkin esok, Gustaf hanya termangu. Menelanjangi hidup tanpa warna bukan sebuah keinginan atau pilihan, hanya sebuah khayalan yang tiba-tiba saja jadi kenyataan.
Pemebrontakan dalam jiwa yang terpasung keadaan dan adat menorehkan stigma di masyarakat, bahwa dirinya adalah sampah masyarakat!

Sekumpulan burung terbang tinggi. Ada yang sengaja berada di belakang, menjauhkan diri dari rombongan. Tampak luka di sebagian sayapnya. Bulu-bulunya hampir tak menempel lagi pada kulitnya. Darah mengering. Sebentar landai, sebentar naik. Tak kuat menahan terpaan angin, akhirnya si burung terkulai dan jatuh ke tanah. Tak ada yang meratapi, mereka pergi...

Polah si burung mengingatkan pada prahara hidupnya. Kini Gustaf terasing dalam kesendirian yang panjang. Entah kapan akan berakhir.
Malam yang seharusnya dilewati dengan indah, dibiarkan hanya dicerna oleh angin malam tanpa basa-basi. Luka Gustaf kian dalam dan menganga.

Siang tadi, kesendirian itu sedikit terobati. Senyum Seruni, yang katanya semanis tebu, membawanya hanyut pada impian yang lama diidamkannya, mempunya seorang tambatan hati, sekaligus ingin memperistrinya.
Apa lacur, cap sebagai seorang mantan narapidana memaksa hatinya untuk tidak berkhayal setinggi itu.

"Tak ada yang berbeda, semua manusia sama saja di mata Tuhannya," demikian Seruni memberi alasan kenapa ia mau berteman dengan dirinya.
Tak urung, kata-kata Seruni membangkitkan semangat agar sisa hidupnya tak dibiarkan tercecer pada jurang kelam yang pernah disinggahinya.

Mata Gustaf kembali menerawang jauh. Ingatannya tumpang tindih. Sesaat dia begitu ingat betul ketika seorang polisi menghardiknya sebagai penjahat yang tak punya perasaan. Bogem mentah hilir mudik mendarat di wajahnya. Biru lebam adalah "polesan" yang tak mampu untuk dihindari.

Sesaat, Gustaf pun teringat si Manis Tebu, Seruni. Senyum manisnya bermain di pelupuk mata. Bibir Seruni yang merekah dan hanya diberi polesan lipstick yang tak mahal memberi kesan yang tak bisa dihapus dalam sekejap.
Ayunan lembut tangannya diingat betul ketika Seruni melangkah. Sepasang kaki belalang begitu nyata memenuhi langkahnya yang tergesa ketika hujan akan turun.

Selama di dalam kamar penjara, bayangan itu selalu ada. Ketika keluar dan bebas, memori tentang dirinya kian menumpuk di urat kepalanya. Perjalanan cinta dan hidupnya memang ibarat benang kusut, sulit dibentangkan!

Ketika malam beranjak pagi, yang hanya dilewati dengan lamunan, Gustaf terbangun. Suara seseorang dengan nada pelan, menyadarkannya dari tidur.
"Hari sudah mulai pagi, bangunlah dan segera sholat!" Suara itu datang dalam keremangan pagi. Sangat tergesa hingga tak nampak siapa si empunya suara.

Gustaf mengernyitkan dahinya. Menduga-duga siapa gerangan yang berani membangunkannya. Cuaca dingin kampung Panyaungan seperti tak rela untuk melepaskan selimut dari tubuhnya. Kokok ayam datang bersahutan. Sesekali bunyi jengkrik juga ikut meningkahi. Ada bunyi gemericik air yang mengalir begitu tenang.

Keheningan pagi yang datang, suara ayam atau jengkrik,pun gemericik air, tak sedikit pun mengganggu tanya dalam hati Gustaf.
"Siapa sesungguhnya yang telah membangunkan aku?", pikir Gustaf

Belum terjawab apa yang dipikirkannya, suara adzan mengalun dari surau samping rumah. Gontai Gustaf melangkah dan bergegas pergi meninggalkan tanya yang belum sempat dijawabnya.

Sesekali Gustaf menghentikan langkahnya ketika menuju surau. Di sebrang rumah dekat jembatan kecil itulah dia pertama kali dengan si Manis Tebu, Seruni.
Tak mau dikelabui oleh khayalan, Gustaf melangkah tenang dan tak pernah menengok sedikit pun. Kali ini, dia ingin "bertemu" Tuhan dengan kesungguhan hatinya.