Selasa, 30 Desember 2008

Setelah Kita Bicara…

Ada yang selalu ikut serta dalam benakku jika aku telah usai ‘bicara’ denganmu. Tak jenuh pula kita saling melempar kata, dari mulai yang tabu hingga yang perlu lalu kita nyaris lupa waktu.

Lama atau sebentar kita ‘bicara’, selalu meninggalkan jejak yang sama: rindu kembali untuk mengulang. Menghayati makna hidup, mengurai perjalanan waktu, dan tak lupa saling berbagi perasaan. Ringkihnya beban yang ada, barangkali bisa berkurang. Kendati tak selamanya menjadi penyembuh, sugesti ‘pembicaraan’ itu tak urung membuat semangat hidupku menyala padahal sebelumnya seperti meredup.

Bila saja hanya aku yang merasakan itu semua, mungkin tak akan berdosa sebab aku terbiasa dengan khayalan. Memanipulasi keadaan menjadi lebih baik kendati sebenarnya aku tengah berduka. Coba dengar rintihan kali ini sehabis aku meninggalkanmu itu:

Jejak bibirmu tertuang dalam ingatan
Semua kata-kata berdiam di tepian hati
Aku tahu engkau tak sedang ingkar janji
Membual dengan celoteh palsumu

Bila saja langkah kaki ini lebar berpijak
Sudah kukulum semua barisan kata-katamu
Kubawa pergi ke Dusun sunyi
Kukeloni hingga pagi

Dengan sepuas hati engkau kubawa pergi
Kutimbuni dengan rasa sesejuk embun pagi
Khawatirku tak kan dibiarkan berlalu
Engkau kujaga seperti lalu-lalu

Barangkali engkau tengah tersenyum
Larik puisi yang kuberikan haus kau minum
Dahagamu lalu tersandar dalam kerongkongan
Tapi aku masih terdiam dalam kekeringan

Keras kepala yang kau punya
Seperti onggokan batu di dasar laut
Sulit diselami, sukar dihancurkan
Tapi aku adalah GELOMBANG itu
Punya kuasa menjadikan BATU JADI KRISTAL
Menjadikan DASAR LAUT JADI DARATAN!

Malam kian beranjak menuju pagi. Aku masih melebur dengan gelapnya. Sungguh-sungguh aku tak pernah tahu apa yang dilakukannya manakala diriku tengah ‘membicarakannya”. Bilakah perasaanmu sama dengan yang kupunya?

Rangkasbitung, 301208

Minggu, 28 Desember 2008

Dusun Kami, Kampung Kami

Menelusuri jalanan berkelok, tebing hampir sepanjang jalan di sebelah kiri, sedang di kanannya adalah jurang curam dengan kedalaman mencapai 20 meter dengan tekstur tanah nan landai. Di bawahnya sekumpulan petani kubis, kentang atau wortel bergelut melawan hawa dingin pagi itu. Mereka khusyu mencari penghidupan kendati dingin membungkus kulit. Jika dilihat dari atas, mereka tampak seperti sekumpulan kurcaci!

Perjalanan pulang kali ini ibarat nostalgia. Sebuah rekaman peristiwa yang monoton karena dari dulu hingga kini dusun kami tak banyak mengalami perubahan mulai dari inpra strukutur, ekonomi bahkan mungkin pembangunan sarana lainnya tak banyak mengalami kemajuan. Pejabatnya lebih asyik “bermain” di tingkat Pusat ketimbang turun ke kampung yang sarat jalanan becek.

Kecamatan Pangalengan jaraknya 42 KM dari pusat kota Bandung. Jika ditempuh dengan roda mesin cukup makan waktu 1,5 jam saja. Tak ada jalan alternatif, jalan yang ada itu pun peninggalan atau warisan Hindia Belanda yang awalnya merupakan jalan setapak. Untuk membuat jalan tersebut, Belanda cukup kepayahan karena harus mengikis bukit dan melibatkan lebih banyak lagi pribumi lokal.

Kampung Cipanas, adalah nama tempat kami tinggal. Disebut demikian karena tak jauh dari rumah kami terdapat Pemandian Air Panas Tirta Bidadari. Syahdan, nama ini diberikan karena jaman dulu tempat ini sering disinggahi para bidadari untuk sekedar mandi atau berendam. Sumber air panasnya berasal dari Gunung Wayang Windu, di mana hulu Sungai Citarum berada di sini.

Pemandian Air Panas Tirta Bidadari kini sudah tak seperti dulu lagi. Bangunannya tampak miring dan nyaris ambruk, kebersihan tak terjaga dan banyak pintu yang mulai lapuk. Tirta Bidadari kini benar-benar meradang. Sang “bidadari” pun tentu enggan bertamu lagi entah untuk mandi atau sekedar mampir. Bidadari, tempatnya adalah istana dan bukan tempat kumuh seperti itu. Demikian jika dianalogikan.



Sekeliling Dusun kami “dipagari” kebun teh. Sepanjang mata memandang adalah hijau daun yang membuat mata dalam sejuk. Nun jauh ke sana, perkasa Gunung Wayang Windu tampak berdiri gagah. Kepulan asap cerobong dari pipa raksasa mengepul hebat. Ya, dari sinilah pasokan listrik untuk Jawa-Bali berasal.

Jika malam, dinginnya bukan kepalang. Suhunya bisa mencapai 12 derajat celcius bahkan bisa kurang dari itu. Memasuki musim kemarau, sediakan mantel jika Anda kebetulan singgah ke dusun kami karena dingin bisa lebih dalam menembus pori-pori Anda.

Penduduknya lebih banyak berprofesi sebagai petani, peternak sapi perah, pegawai perkebunan sebagai pemetik teh atau bekerja di sector informal. Dusun kami yang damai masih tetap menyisakan bekas di mana Siskamling masih terpelihara, kerja bakti masih tetap dilaksanakan, dan manakala tidur kerap terdengar suara kodok atau jengkrik. Pun demikian jika bangun, kepak sayap dan kokok ayam akan menyadarkan kita dari nyenyaknya tidur. Itulah wajah dusun kami, kampung kami.

Bila bangun pagi, yang tentunya akan terasa dingin, penduduk di sana sudah terbiasa bahwa setiap rumah akan tersedia perapian yang berfungsi sebagai tempat memasak di mana bara yang dihasilkan dari perapian tadi berfungsi pula untuk menghangatkan badan.

Sambil menghangatkan tubuh dari perapian tadi, di atas lantai yang beralas tikar akan tersaji segelas susu sapi murni panas yang baru saja diperah. Susu itu akan terasa lezatnya jika dihidangkan dengan gula merah dan sedikit kopi.

Jika sudah jenuh dengan kehidupan kota yang sumpek, mal yang dipenuhi manekin seolah menertawakan ‘wajah’ kita, bersegeralah untuk merencanakan singgah dan mencicipi nikmatnya menjadi penghuni Dusun kami. Rasakan apa yang didapat! Jika ternyata ingin segera kembali…, tak disalahakan memang bahwa kota adalah magnet. Kembali Dusun itu sepi dan menemui keasliannya…

Jumat, 26 Desember 2008

Nu Deudeuh, Nu Maneuh

Untuk kali ini aku mungkin harus berani membuka diri sebagai identitas dari mana aku berasal. Tanah Pasundan yang ditakdirkan Tuhan sebagai negeri elok karena Bumi Parahyangan kaya akan panorama alam hebat, menjadikan aku mampu bereksperimen ke dalam bentuk prosa pendek.

Aku akan mencoba berintegrasi dengan alam tadi manakala aku merasa dicengkram oleh rasa cinta yang tak pernah hilang. "Nu Deudeuh, Nu Maneuh", yang berarti rasa sayang yang tak rela pergi ini menjadi acuan untuk puisi kali ini. Seseorang telah menunggu puisi ini, mungkin. Karena dirinya pernah mencicipi tanah Sunda, maka dia pun mengakui sanggup memahami apa yang kutulis. Benarkah begitu wahai wanita seberang? Coba simak baik-baik!


NU NEUDEUH, NU MANEUH

Sajeroning kuring leumpang
mapay-mapay jalan satapak
hariwang kurasa kamelang
anjeun keur naon waktu ayeuna?

Japati ni mawa beja
rek neruskeun hanca carita
nu geus lila jadi pasini
anjeun keukeuh henteu betus
teu wasa ngaguar gelung

Bet kieu geuning rasana
anjeun jauh dina panon
tapi rasa bet teu bisa
ngadeukeutan lewih rapet

Anjeun nu geus maneuh
ngeusi hate saban poe
anjeun nu dipikadeudeuh
ngeusi pikir saban waktu

Anjeun..., moal leungit dina pikir
didieu...kuring satia nunggu bewara



Kumbang Dusun, 261208/15.39 WIB

Rabu, 24 Desember 2008

24 jam x 4 Aku Meninggalkanmu

Sekali lagi sudah terbukti bahwa aku tidak salah menebak isi pikiran ini, aku memang kurang pandai mengambil hati seorang wanita. Di mana letak kehebatan dirinya selalu saja dipatahkan ketidaksantunanku memainkan tempo pembicaraan.

Aku dan dirinya seperti berada di ruang isolasi dengan sekat tebal. Perasaan saja ternyata tak cukup untuk mengenali jiwanya. Kali ini..., aku benar-benar kalah!

Tak bisa dan tak biasa dibebani oleh rasa bersalah, seperti halnya seseorang yang kalah..., aku lantas ingin menyendiri di pelukan suasana yang bisa meninabobokan dari kesibukan semacam ini. Engkau memang benar, "cape rasanya bicara soal hati".

Jika sudah begitu, aku nyaris marah pada keadaan saat ini. Timbul perasaan syak wasangka yang tidak-tidak kepada Tuhan, "Kenapa ENGKAU begitu tega memainkan lakon hidupku seberat ini. Dengar wahai yang di sebrang..., betapa berat.

Ya..., aku akan pergi
selama empat kali putaran jam penuh
mengabdi pada keluhuran hidup
mencari kedamaian dalam sesaat saja

Barangkali dusunku akan mengubah otakku
mencuci perasaanku kembali seperti dulu
menguras pikiranku kembali utuh
jika ternyata tak bisa....
aku memang telah kehabisan akal

Engkau yang kutinggalkan...
pantas jenuh untuk bertamu karena aku begini
biasa-biasa saja, nyaris tanpa hiasan
bahkan SANGAT HITAM PUTIH

Engkau yang kutinggalkan...
pantas merasa MUAK jika melulu tentang hati
dulu MABUK, sekarang MURKA
lalu di mana aku harus sembunyi?
tak mungkin di ketiak IBUku!

Pergilah seperti yang kulakukan
tak perlu dengan mencuci otakmu
apalagi menguras pikiranmu
engkau tak sedang sakit apalagi sekarat
jantung hatimu ditunggu detaknya
oleh lelakimu..., juga buah hatimu...

Biarkan aku sendiri dengan kepulangannya
jika aku tak kembali, cari aku di INGATMU
jika tak merasakan apa-apa
aku pun tak pantas KAU CARI!

Bogor, 241208/18.52 WIB
Aku segera datang, wahai Kota Kembang.

Selasa, 23 Desember 2008

Lelaki Bodoh ( Jika Hati tak Mampu Dibaca )

Betapa sulitnya mendalami perasaan sesungguhnya seorang wanita. Pernah atau tidak merasa "terganggu" oleh apa yang kulakukan dan MENJADI KENANGAN atau MERASA JENUH atas apa yang kuperbuat, tetap jawaban pastinya tak kutemui. Rupanya perlu trik khusus agar aku tak merasa kepayahan tertidur pulas dalam ketidaktahuan. Suntuk yang dirasakan ternyata tak menghasilkan apa-apa, kecuali tanda tanya besar yang dengan setia mengikuti kemana kakiku melangkah.

Jika saja engkau dekat dan pernah berada di sampingku, pertanyaanku bisa terjawab oleh gerakan tubuhmu. Namun Tuhan rupanya belum rela untuk memberiku kesempatan untuk bisa melihat utuh fisikmu. Di sini, aku mungkin harus bersyukur karena kata-kataku tak pernah kehabisan oleh karenanya.

Kendati aku tak berhasil menyelami lubuk hatimu, aku masih bisa bernafas lega karena engkau dengan tak sadar pernah berucap sepatah kata yang membuat hatiku terjungkal kegirangan. Engkau pernah menyesal, yang kemudian kau anggap pula sesuatu yang tabu terucap dengan sendirinya. Aku hanya tersenyum kecil...hati memang tak pernah bisa dibohongi. Coba aliri jiwamu dengan kata-kataku..., siapa tahu engkau mau berterus terang karena bahasa tubuhmu itu sulit kutangkap!

Aku tak ingin lagi mengulang kata-kata
apalagi bertanya tentang kenapa khawatirku
tak jemu hinggap di kemana langkahmu pergi
engkau hanya bisa tersenyum, bahkan mungkin
engkau terdiam dalam kebingungan

Menutup mulut dan tak berkata-kata
sesuatu yang sulit untuk dijawab
berat memang, tapi aku terus menunggu
bukankah keterusterangan itu cahaya?
akulah sahabatmu itu..., akulah sahabatmu itu!

Dendam aku menuju masa silam
di mana hati selalu bermesraan dengan denyutmu
palsu memang, tapi aku sempat dilenakan
tak pernah menyesal...dan tak pernah merasa dilukai
aku terbiasa dengan permainan jerami hidup

Kubur saja pertanyaanku
aku tak mungkin menggali untuk kesekian kalinya
lidahku sudah kelu mengumbar hampa
senyum yang kau kulum kunikmati separuh rasa

Langkah pasti menuju rumahmu
jelas tak akan linglung pada siapa harus menuju
tatapan mataku terus menggiring ayunan kakimu
dalam diam aku sering berkata,
"aku bahagia jika kau selalu dalam senyuman"


Buat seseorang yang kini tengah menikmati masa-masa menyendirinya. Hilang dari dunia maya karena kesibukannya. Tapi aku sering merasakan kehadirannya kendati dia lantas pergi dengan cepat jika aku datang. Tersenyumlah..., karena itu yang kumau!

Senin, 22 Desember 2008

IBU, Wanita Abadi Dalam Hidupku

Seraut wajah wanita itu tersimpan penuh di dinding hatiku. Kemana aku melangkah, riaknya tak pernah mampu untuk ditahan. Sengaja kugandeng dalam ingatan, terpatri dalam hati dan tak jenuh pula mengisi jiwaku.

Sejatinya aku akan merasa kehilangan yang amat sangat jika kelak DIA memanggilnya. Usia yang kian merambat jauh membuat aku merasa khawatir dan tak sanggup untuk berjauhan. Aku sungguh-sungguh "jatuh hati" dengan asmara yang tak akan lekang oleh gempuran nasib buruk sekalipun.

Ibu..., genggam janjiku yang kubuat dalam prosa pendekku. Kutulis khusus buat wanita yang dengan hebat melahirkan aku dengan keperkasaan dan kelembutannya manakala kmembesarkanku.

Sunyi ini kubawa dalam diam
kugendong rapat di balik punggung anakmu
sesaat saja aku sempatkan waktu untuk berpaling
mencuri waktu di antara deretan kesibukan

Seperti yang kujanjikan dulu,
kubawa buah tangan seperti yang IBU MINTA
sebuah apel merah yang kubeli di pasar kaget
karena ibu sering melarangku membelinya di supermarket
"Mal dan supermarket tempat orang kaya berkumpul"
begitu IBU sering bilang...

Sunyi yang kubawa, disambut senyum tua
di balik kebaya yang kemarin,
IBU tampak cantik hari ini
aku sumringah dengan lelehan air mata di kunang-kunang
Akh...ibuku masih seperti yang dulu

Aku memeluk tubuh kuyu itu dalam erat
kusimpan hatiku dengan rapat pada ujung bibirnya
supaya aku selalu berharap nasihatnya
santun membawa diri hingga ujung penaku kiamat

Ibu...
aku harus kembali pulang untuk mengembara
tunggu aku kembali dengan buah apel yang lebih "baik
seperti janjiku...
aku kelak ingin menjadi matahari bagi hidup IBU.



Puisi ini melenakan hidupku dalam kesibukan. Tak terasa benar-benar ingin menangis. Kini ibu berada di Dusun yang jauh dari keramaian. Semoga IBU sehat selalu sepeninggalku. Aku selalu berdoa untukmu, IBU...!


Cileungsi, Hujan belum reda.

Minggu, 21 Desember 2008

Kepada Bidadari yang Terluka, Bag. 2

Langit Bogor saat ini tak sehebat kemarin, murung dengan banyak awan di setiap tepinya. Hitam seperti jelaga dan berarak menjuntai hingga seperti tangan yang mencari pegangan. Sebentar lagi tentu akan hujan, dan langit biru kembali tampak…

Aku tentu tak akan rela jika kemurunganmu disamakan dengan awan. Awan hadir dan bisa menggelapkan semua isi bumi, gelap jadinya. Awan pun tak enak dipandang karena di sana tersimpan sengatan berbahaya yang mematikan, halilintar. Tak semua bernada minor memang, karena awan mengahasilkan hujan dan bumi menjadi basah karenanya.

Seperti cuaca yang sulit ditebak, aku tak pernah tahu keberadaanmu kini. Semua jalur komunikasi untuk bertanya tentangmu kuhindari, aku tak mau jadi duri dalam hidupmu. Sepeninggalmu, apakah masih serajin dulu engkau membuka laman demi laman ‘rumah’ ini atau tidak. Engkau sama sekali tak meninggalkan jejak itu. Aku yang berjanji untuk meninggalkan rumah ini, malah engkau yang terlebih dahulu berlalu. Aku kembali datang, sejatinya karena aku tak bisa membiarkan hidupmu merasa tak nyaman. Aku memang pantas berdamai dengan keadaan!

Catatan ini kurekam dalam ingatan. Langit Bogor yang katanya murung jadi saksi ketika langkah menggiring kaki menuju sebuah tempat. Coba baca dengan perlahan prosa ini!

Langkah kakiku mulai senja
terbirit-birit aku mencari tepian
sesaat saja agar aku bisa berteduh
dari rasa lelah yang mengejarku

Bersandar pada pijakan daun pintu lapuk
ngilu sendiku berujar, "sudah terkunci"
aku mencarai khabar tentangmu
tak jua kutemukan jejakmu

Tanganku menggigil dalam dingin
sebentar saja aku ingin meraba hatimu
tentu tak bisa karena engkau tetap sembunyi
dalam janji yang kau buat sendirian

Hela nafasku tersimpan rapat di dalam rongga
sesekali aku beradu cepat dengan ingatan
lekaslah hujan supaya langit tak lagi kelabu
aku sudah menunggumu sebagai sahabat seperti yang kau mau

Aku rupanya tak sendirian...
aku merasakan engkau selalu hadir
membaca dan menikmati isi pikiran ini
engkau jangan bilang mau pergi
dengan sembunyipun aku rasakan DATANGMU itu!


Cileungsi, 201208/17.32 WIB

Jumat, 19 Desember 2008

Kepada Bidadari yang Terluka

Sungguh aku tak pernah tahu apa yang dilakukannya saat ini. Entah merasa rindu untuk bertamu atau tidak, aku juga sudah merasa sungkan untuk bertanya. Riak air mukanya tampak baik-baik saja, tapi aku merasakan hatinya mungkin sedikit terguncang. Sanjungan tak selamanya MEMABUKKAN bahkan bisa sebaliknya menjadi sesuatu yang MEMUAKKAN. Aku terperanjat manakala engkau memutuskan untuk pergi kendati hanya sebentar. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Tak ada lambaian tangan perpisahan, semua mengalir dengan caranya sendiri...

Kerap kali aku sering membayangkan perasaan berdosa itu. Seolah menyuruhnya pergi dengan cara yang berbeda. Kini aku kadang merasa tak bisa tersenyum, sebuah kehilangan pada seorang sahabat, bukan sebagai pengisi hati. Jika diurai lewat bait prosa pendek, maka inilah bunyinya:

Aku kini tak sanggup lagi mengejarmu
kepergianmu yang kau urai membuatku luluh lantak
menyadari kekeliruanku, dan tak lagi bisa sembunyi
aku harus nampak tegar dalam hidupku sendiri

Berceritalah kembali seperti dulu
tentang suasana rumah penuh romansa
aku tanggapi ringan tanpa membentuk rasa
karena aku tak seliar yang kau takuti lagi

Imajinasiku tentang dirimu terkubur sudah
tenggelam bersama dinginnya malam, mengembun
dan perlahan menetes membentuk bercak
mengalir ke muara bernama 'aku sadar'

Aku ingin malam ini engkau hadir,
melihat hatiku berkata-kata
tak berkaca-kaca memang, karena aku bukan perempuan
di mana setiap jengkal derita adalah air mata

Pesonamu masih kusimpan dalam ingatan
tapi tidak dalam hatiku
aku tak bisa memaksamu untuk jadi dayangku
bulan malam ini tak mengijinkanku untuk itu

Lebarkan sayap penuh senyummu
aku undang engkau datang sebagai tamuku
tamu seperti layaknya mereka, jika ini memang maumu
datanglah..., kusapa seribu kali pun aku takkan jemu.


Malam terang tanpa bintang, 21.06 WIB

Kamis, 18 Desember 2008

Engkau Masih Sahabatku...

Berpaling sejenak saja kepada diriku. Tempatkan hati terdalammu pada ingatan bahwa aku membaca dengan tegas rencana kepulanganmu ke dunia nyata. Menurut pengakuanmu pula, dunia maya harus segera diinsyafi, kembali pada dunia normal.

Rehat sejenak karena dunia maya telah menghasilkan sikap egoistis dan berakhir dengan prilaku suka mengatur, tak urung membuat hatiku pilu dan mengkhawatirkan tentang tugas-tugasmu bahwa duniamu tak jauh dari internet.

Jika ternyata apa yang kutulis mengandung 'pengekangan' karena ada kesan mengatur, saya minta maaf dan tak akan mengulang apa yang aku tulis. Di sini..., aku mulai punya rasa bersalah dan berdosa sekali.

Kembalilah sebagaimana mestinya. Aku sudah menganggap engkau sahabat sepenuhnya...
Berusaha menghilangkan rasa...
dan tak lagi punya keinginan untuk berkuasa...
Kembalilah..., mungkin mereka sedang menunggumu...!


Akulah sahabatmu itu!

Selasa, 16 Desember 2008

Aku Pergi, Tapi Tidak Marah...

Jangan disalahartikan dulu....,
jika saya pergi bukan berarti karena aku marah. Sama sekali tidak!
Kepergianku kali ini hanya untuk menghindari rasa suka pada dirimu
supaya tak kian memuncak dan berkarat.

Jika saja aku tiba-tiba dianggap sensitif..., wajar saja karena beginilah orang
yang tengah dipengaruhi oleh indahnya romantisme.
Tak hanya aku, dirimu, juga yang lain pun akan mengalami hal sama. Aku tak
memonopoli perasaan ini, bukan?

Tolong pahami kepergianku kali ini. Siapa tahu aku bisa. Jika ternyata aku tak bisa,
minimal aku bisa meminimalisir keadaan tadi jadi sedikit berkurang.
Berkali-kali aku lakukan itu, pertahananku untuk 'sembunyi' tak cukup kuat rupanya.
Semoga kali ini aku bisa..., harus bisa!

Jika saja apa yang aku alami adalah diposisikan pada engkau, tentu akan mencari cara bagaimana menghindari indahnya 'sang pemikat'.
Sembunyi, adalah salah satu cara yang bisa kulakukan.

Tak usah bilang "jangan kenal aku", bagaimanapun aku pasti kembali.
Bahkan mungkin engkau
sendiri yang akan memulai. Hadapi saja biasa kepergianku kali ini.
Aku tidak marah.
Sekali lagi, aku tidak marah!

Salam dan doa aku panjatkan pada dirimu.
Baik-baik saja sepeninggalku...

Senin, 15 Desember 2008

Surat Untuk Bidadari, Bag.2

Arini...
Tersenyumlah sepagi ini. Karena senyum yang engkau miliki adalah pemberianNya yang lebih banyak mengundang orang untuk kagum, termasuk diriku.
Semalam, tanah Jakarta diguyur hujan. Tak lebat memang. Engkau pasti kedinginan, atau malah gerah karena cuaca yang tak bersahabat tadi.

Jauh di lubuk hati terdalam, aku berharap banyak hidupmu mengalir dalam damai. Tak ada riak dalam rumah tanggamu seperti beberapa bulan silam. Aku sungguh-sungguh tergores manakala mendengarnya. Sebuah kekhawatiran yang jarang terjadi pada diriku manakala seorang wanita mengalami kejadian semacam itu. Bagiku, engkau memang berbeda karena begitu lama 'berdiam' diri memenuhi kisi-kisi hatiku.

Jangan larang aku untuk tidak mencintaimu atau menyayangi karena aku bisa pergi lama meninggalkanmu. Aku tak butuh uangmu, tak butuh tubuhmu. Yang kubutuhkan adalah sedikit senyum dan secuil perasaanmu. Tersenyumlah pada saat membaca tulisan ini, aku akan rasakan itu kendati aku tengah sibuk bekerja!

Sesekali aku pernah membayangkan engkau berada di sisiku. Tapi aku merasa tak nyaman karena engkau sudah dinanti seseorang. Di sisi lain aku begitu hebat membenci perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggamu. Di sisi lain aku menyadari betul bahwa aku tengah menjadi pelakon dalam 'drama' yang kubenci tadi. Aku minta maaf...

Arini...
Kali ini aku harus sadar betul bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Getar yang dihasilkan dalam jantungmu adalah bagian dari bahwa aku tak bertepuk sebelah tangan. Sungguh..., aku merasakan itu. Dan engkau tak perlu berbohong jika benar rasa itu ada!

Jangan merasa terganggu dengan kehadiran kata-kataku. Berulang kali aku katakan bahwa aku tak sedang merayu agar hatimu berpaling. Luruskan jarak pandangmu pada lelakimu. Arahkan tepat tatapan itu pada buah hatimu. Mereka, adalah layak untuk dicengkrami karena itu sudah menajdi hak yang tak bisa diabaikan.

Bercerita banyaklah di blog ini. Karena inilah tempat satu-satunya aku 'menemukan' dirimu. Aku tak sanggup untuk mendatangimu karena bukan jarak yang jauh, tapi rasanya tak pantas saja jika aku datang menemuimu...

Tinggalkan pesan jika engkau telah benar-ebnar melumat habis tulisan ini. Kendati harus diucapkan dengan rasa malu, tetap aku paksakan bahwa rasa 'kekhawatiran' pada dirimu belum tergantikan posisinya oleh bidadari manapun.

Arini, tersenyumlah di pagi ini...!

Minggu, 14 Desember 2008

Mulai Besok, Di sini Tak Ada Lagi Rintik Hujan

Ya, saya akan pulang bersama dinginnya malam ini. Langkah kaki saya mulai jatuh menyentuh tanah pertanda saya akan memulai untuk menyepi. Meninggalkanmu dalam kesendirian tapi di tengah keramaian juga. Bayangkan aku, pergi dalm sepi dan berkelana seorang diri. Perih memang, tapi diakui bahwa luka ini bagian dari skenario yang telah Tuhan gariskan. Menentang kehendakNya berarti aku telah ingkar pada NikmatNya. Tuhan..., Engkau pasti arahkan kemana kaki ini Engkau gerakan!


Seharusnya malam ini aku bahagia
bertemu wanita impian setegar batu karang itu
si pemilik senyum bagus itu
dan tentu pribadi yg punya gaya bicara datar itu

Kusimpan dalm jambangan isi hati ini
tahun depan atau berikutnya akan kupungut kembali
kendati telah usang, kuyakin utuhnya bakal terlihat
kupahat dalam sanubari paling dalam
buat kupersembahkan pada entah

Hati yang terasa ditusuk sembilu,
lukanya tampak mengitari tubuh malam ini
bingkai gading tampak retak pinggir kali
lukanya mencuat ke bibir langit

Sembah sujudku kian merapat
menyentuh lantai dengan gurat sebening air
aku mungkin harus menangis padaMu
untuk yang kesekian kalinya

Perpisahan yang tiada batas
ujungnya hanya terjuntai di ujung awan
sulit dipegang, pun demikian jika dilepas
aku gelagapan dalam terang wajahmu

Rindu ini kusimpan rapat dan takkan kuberikan pada angin
juga demikian pada gunung yg menjulang itu
sederas air yang mengalir, rindu ini kusimpan bersama
gemericiknya....

Aku tak menginginkan engkau pergi....
saya bahkan rela menunggu dalam gelap sekalipun
semoga Tuhan tau...
kepergianku adalah untuk kembali...
Satu kali aku sebut namamu, Tunggu aku di kelokan itu, Arini...!

Bogor, 12.30 WIB

Sabtu, 13 Desember 2008

Langit Jakarta Hari Itu

Inilah kota di mana serbuan manusia seperti segerombolan semut yang memasuki sebuah sarang penuh madu. Manis terasa hingga ke ubun-ubun. Pahitnya pun menjulang ke dasar langit, seperti empedu jika tak mampu bertahan. Kolong jembatan, emper toko dan stasiun kereta api adalah Rumah yang terpaksa mereka huni. Itu bagi si papa.

Hotel berbintang dan ribuan penginapan bertebaran, semalaman uang ditebar dari kantong hingga jebol tak dirasa. Hidup seperti dalam sebuah cerita, apa yang dimau, tersedia tanpa kendala. Itu bagi kaum jet set nan borjuis.

Jakarta hari ini kedatangan seorang tamu. Ibu muda dengan satu anak yang tengah nakal-nakalnya. Hasil perkawinan dari seorang lelaki gagah, demikian dirinya mengakui ketampanan sang Arjuna ketika menjajaki masa pacaran 6,5 tahun silam. Ibu muda yang diceritakan selalu sibuk ini, kendati berbadan mungil, punya kekuatan besar untuk ‘menggengam’ dunia karena etos kerjanya tak kalah oleh orang Jepang.

Cerita akan diurai oleh keinginan untuk bertemu kawan sepenanggungan dari dunia maya. Internet, tak lagi menjadi barang langka penunjang pekerjaan, melainkan sudah menjadi kebutuhan yang mendekati trend gaya hidup. Tapi jika tak bisa mengendalikannya akan berbuah rasa ketagihan, mirip candu dalam sebatang rokok. Atau bisa pula menjadi penyakit gatal.

“Sehari tanpa internet, jari gua bisa gatel,” demikian ocehan teman kala itu. Gatal kali ini tentu beda karena tanpa koreng. Di sini kita bisa mengambil satu pilosofi. Di mana letaknya? Silakan cari sendiri!

Di Plaza Semanggi ibu muda ini akan bertemu dengan sesama rekannya. Perjumpaan antara sekumpulan orang dengan karakter yang berbeda-beda. Suku yang berbeda, Ras juga agama yang berlainan. Di dunia maya, mereka boleh menyebut si Fulan sebagai Si Gokil, Si Rumpi, Si Narsis atau Si Cerewet seklipun. Dunia tak hanya hitam putih, warna lain bisa kita temukan jika kita benar-benar telah bertemu dan bertatap muka. Maka menggelindinglah sebuah penafsiran ternyata si Fulan kali ini karakter serta sifatnya berbeda kala “bertemu” di dunia maya. Atau bisa pula kita menilai, karakter si Fulan sama persis ketika berhadapan muka. Sama dan beda memang tipis jaraknya, bisa pula berbeda jauh jika mau capek untuk direntang!

Di Plaza Semanggi…

Langit Jakarta tampak ringkih. Matahari sedikit malu-malu untuk terbit. Sinarnya tak segarang seperti hari Minggu kemarin atau hari sebelumnya, Sabtu. Semenjak dari Bandara, badan ibu muda ini seperti di pangganya, panas. Rasa gerah justeru sedikit berkurang mana kala memasuki taksi yang membawanya ke arah Selatan Jakarta. AC taksi kali ini mampu menolong dari kepanasan kendati kualitasnya tak sebagus saat dirinya di dalam pesawat.

Sesekali, dirinya menerima beberapa SMS. Ada yang datang dari karibnya, ada juga yang dikirim oleh seorang pria yang disebutnya sebagai Pria Berimajinasi Liar. Sesaat dirinya merasa terganggu dengan kehadiran SMS dari si Pria Berimajinasi Liar ini, tapi dirinya juga tak menampik kadang sering merindukan ocehannya.

Jakarta, kini telah banyak berubah. Lahan kosong telah dihutanbetonkan oleh bangunan yang nyaris menyentuh langit, demikian ibu muda ini sempat bergumam ketika taksi yang membawanya terus menyisir padatnya lalu lintas Jakarta.

Di Plaza Semanggi, 15 Desember 2008 lalu…

Pada sebuah ruangan berpendingin, mereka janji akan bertemu. Mengenakan baju santai dengan gerai rambut yang sedikit dibiarkan terbang, ibu muda ini memasuki ruangan. Langkahnya telah disambut oleh Sahabat Mayanya yang sedari tadi menunggu. Bersalaman dan kadang cium pipi kiri-kanan antar teman wanita adalah rutinitas yang mereka lakukan kala itu. Tapi sayang…, di antara mereka harus sedikit kecewa karena satu sahabat lagi terlambat datang. Seluk beluk Jakarta belum dikenalnya dengan baik. Itu mungkin salah satu penyebabnya kenapa dia datang terlambat.

Sesaat, di antara mereka seperti menyimpan pertanyaan dan dugaan-dugaan. Oh ternyata…, inilah wajah asli si Fulan!?

Sesekali di antara mereka saling mencuri pandang. Memperhatikan tubuh rekannya dari ujung rambut hingga kaki. Maklum, mereka baru pertama kali bertemu kendati sudah lama saling kenal. Walaupun demikian, obrolan saat itu tak seakrab di dunia maya. Kata ‘gue’ sesaat menghilang. Baru setelah suasana mencair, “wajah” asli mereka nongol juga layaknya di dunia maya tadi.

Obrolan berlangsung pada sebuah meja makan. Ramai dengan celotehan yang mengasyikan dengan diselingi tawa. Kawan yang tak datang, tak luput jadi bahan pembicaraan yang tak kalah memabukkan saat itu. Suasan gerrr dan nyaris lupa waktu, hingga mereka akhirnya beriringan menuju sebuah gedung megah, menonton tayangan hidup.

Langit Jakarta kala itu mulai redup.

Matahari sembunyi di balik awan yang berarak. Ada lembayung yang tampak di balik gedung pencakar langit, warnanya sedikit kuning dan nyaris sama dengan motif pakaian yang dikenakan oleh salah satu sahabat si ibu muda ini. Pertemuan yang menyisakan kenangan dengan aroma yang kental suasana akrab dan kekeluargaan. Ada yang hilang, apa jadinya jika engkau hadir wahai sang pujangga? Tentu aku akan merasakan suasana yang berbeda, entah gugup atau biasa saja. Demikian kata-kata ibu muda ini memenuhi relung hatinya.

Langit Jakarta saat itu sembab keringat, hujan jatuh satu-satu. Malam hampir menyisir pagi. Ke Jakarta…, aku kan kembali!

Senyum Sepagi Ini...

Aku bahagia, perjalanan jauh yang kau tempuh ratusan kilo itu berakhir manis? Award apa yang kau pegang? Jawabnya aku tentu tak tahu. Sedikitpun kau tak bercerita prestasi apa yang telah engkau raih. Saya hanya berucap syukur, ini adalah bagian dari NIKMAT YANG TELAH ALLAH SWT BERIKAN. Tentu, sujud syukur itu pantas engkau lakukan.

Apa khabar sepagi ini, wahai sang Pengisi Hati?
Engkau pasti lelah mengelilingi kehidupan yang ujungnya belum ditemukan itu. Kapan akan berhenti, tentu sulit dicari jawabnya selama urat leher masih bertengger, kita tak akan merasa jenuh untuk berhenti mencari keESAanNya.

Di sini, aku masih sendiri. Mengitari bayangan yang pernah engkau berikan lewat gambar bagus dengan tampilan kaku. Engkau sendiri, lebih banyak tersenyum dalam gambar itu. Tapi tak jarang, engkau sering tampak kebingungan karena membaca deretan huruf yang kuberikan seperti mengernyitkan dahi.

Cepatlah kembali pada awal tempat berpijak. Semua rindu dengan kedatanganmu. Jika demikian, pantaskah aku pun merasa rindu padamu?

Sepagi ini..., senyum itu tak jua rela kubenamkan kendati hari mulai siang.
Tersenumlah..., tulisan ini hanya untukmu, Sang Pengisi Hati!

Jumat, 12 Desember 2008

Rindu Sesore Ini

Dikatakannya aku akan ditinggalkan selama tiga hari. Si Pengisi Hati ( PH ), jauh pergi pada sebuah tempat hingga harus membelah lautan. Janjinya yang hanya tak lebih dari satu minggu itu tak urung membuat hatiku ketar-ketir. Kepergiannya meninggalkan berbagai Surat Keputusan yang membuat aku meradang. Aku terjepit keharusan untuk patuh pada sebuah keputusan yang melahirkan pemberontakan karena merasa dikekang, di sisi lain aku harus nrimo inilah rekayasa hidup di mana cinta yang kian dipenjarakan malah menimbulkan rasa rindu berkepanjangan.

Coba simak jeritan hati kali ini, Sang Pengisi Hati...!

Aku sudah kehilangan kata untuk berpusi
prosa yang kutulis tak urung menemui kebuntuan
segala sesuatunya telah kucurahkan untukmu
lalu di mana engkau sembunyi?
mungkin di dinding hatiku, atau juga tengah berkelana
di "lain tempat"

Sesore ini...
aku merindukan sekali ocehanmu yang kadang beringas
gaya bicara seperti murka karena marahmu
aku pernah menggigil ketakutan
sembunyi pada harapan bahwa engkau adalah
"Si Pengisi Baik Hati"
Aku percaya itu, hatimu masih selembut kapas...

Sejuk nian ketika kau tulis "aku baik-baik saja" semalam
senyum serta wajahmumu tampak bening di sanubari
engkau tentu tak sedang meranggas karena senyum dalam kesendirian
aku ingin pergi menemanimu, tapi lelahku menghadang hebat

Sang Pengisi Hati...
setiap detik aku genggam isi hatimu dengan kuat
senyummu terkepal di dalam ingatan, tak mungkin kubuang
engkau seolah jadi bagian dari hidupku. tak malu aku akui itu
jika saja engkau enggan untuk berdusta pada hatimu...
bahwa 'ada rasa' dalam hatimu...
kapankah akan berterus terang?

Tak apalah...
sembunyikan rapat 'rasa' itu!
tapi sungguh..., aku bisa menebak isi hatimu!
pikirkan..., aku tak sedang berkhayal.

Semoga engkau baik-baik saja. Di Kota Hujan ini, reda rasa cinta dan sayang itu tak akan hilang. Satu yang mesti kau pangkas sedikit demi sedikit adalah...kurangi sikap marahmu! Segalanya bisa diselesaikan dengans antun. Kendati demikian, aku tetap saja rindu marah serta ocehanmu itu.

Selasa, 09 Desember 2008

Lihat, Dengar dan Rasakan...

Bila saja engkau tahu bahwa aku tengah meradang, engkau pasti tak akan rela untuk berdiam diri dan hanya ikut-ikutan tersenyum pahit sebagai tanda "bela sungkawa". Hatimu, aku tahu sedikit punya rasa, selebihnya adalah ketakutan dan perasaan bersalah. Aku menyadari betul tentang kesalahan ini. Cinta itu begitu agung tapi kenapa selalu lupa untuk berdiam pada orang yang tepat.

Tak berharap iba memang. setidaknya apa yang kualami bisa kau LIHAT, DENGAR DAN RASAKAN. Inilah petikannya...

Sesungguhnya aku ingin segera pergi menemuimu
dengan berlari kencang kendati terpatah-patah
membuka hati sedalam samudera
supaya tampak iklas mencintaimu

Rindu ini hanya bisa dikenang dalam hati
selebihnya tersimpan dan terbuang percuma
nyangkut di banyak tempat, hingga aku kehilangan jejak
untuk mencarinya

Engkau yang kian merapat, hanya dari kejauhan
mendengar keluh kesahku dengan harapan yg itu-itu juga
dengan ucapan yang itu-itu juga, tiada berubah
"Di alam nyata, aku terkunci rapat" begitu ocehanmu

Senyummu kukulum dan kugenggam dalam bayangan
tak rela kulepas barang sejenak, apalagi selamanya
pernah merasa cemburu, lalu takut itu hilang menggelinding
karena engkau mau berkata jujur

Tuhan, coba dengar keluhanku...
umatmu telah memesonakan aku begitu dalam
riak tubuhnya kulumat habis dalam bola mataku
bening hatinya membuat aku khawatir, bila saja ada yg melukai

Tuhan, aku ingin mendekat lebih rapat padaMu
merapat lebih dari kerongkonganku yang mulai mengering
tolonglah aku...,
supaya bisa mengenangnya setelah do'aku kali ini.

Merapat padaku, Wahai Jiwa yang Tenang...
malam ini kembali aku kesepian tanpa beritamu!


Bogor, 06 Des "08

Arini, Telaga di Hatiku

Aku tak pernah berpikir sebelumnya bahwa aku bakal menjalani hidup seserius ini. Saat aku dihadapkan pada kenyataan karena aku mencintai seseorang yang bukan orang yang seharusnya kucintai, justeru imajinasiku kian kreatif saja.

Sugesti yang dihasilkan dari rasa cinta tersebut ternyata berbuah banyak kenikmatan dengan fakta yang tak bisa disangkal. Beberapa hari lalu aku merasakan tubuhku begitu segar, lain dari biasanya karena melihat wajahnya. Arini, si pemilik wajah itu, mengayunkan kaki dengan sangat santai. Kunikmati paras ayunya dari balik rimbun pohon sebuah kebun raya. Arini tentu tak sadar jika wajahnya tengah kunikmati bulat-bulat.

Jika saja aku bisa lebih lama lagi menikmati wajahnya, tentu aku bakal ingat betul bagaimana barisan giginya yang berjejer rapi. Nafasnya pun tentu beraroma layaknya wanita karier di mana penampilan tak pernah diabaikan kendati bukan yang utama. Kesehariannya tak pernah luput dari kesibukan kerja. Bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan status social memapah dia untuk bisa beradaptasi dengan banyak karakter. Syukur, dia berhasil mengatasi itu semua.

Pertemuanku dengan Arini terjadi sangat tak disengaja. Mobil yang dikendarainya waktu itu masuk parit hingga terjerembab ke dalamnya. Mobil tua yang kukemudikan ternyata bisa menarik mobilnya kendati dengan tersengal-sengal. Cuaca buruk dengan hujan yang sebentar lagi turun memaksa kami merapat pada sebuah warung makan sederhana.

“Terima kasih, jika tak ada Anda mungkin saya sudah kerepotan sendiri,” ucap Arini membuka percakapan ketika memesan beberapa porsi makanan.

“Sama-sama, hanya kebetulan saja mobil saya lewat. Panggil nama saja, gak usah kaku begitu dengan mengatakan ‘anda’ segala,” saranku waktu itu.

“Panggil saja aku Arya,” pintaku waktu itu.

Arini mengangguk tanda mengiyakan. Jemarinya terasa dingin manakala dirinya mengulurkan tangan saat memperkenalkan diri. Rambut lurusnya yang dikepang kuda tampak basah. Sementara air mukanya terlihat sedikit kusut namun kecantikannya tetap terpatri utuh. Jika saja diijinkan, aku ingin mengusap butir bening di rambutmu, demikian khayalku waktu itu.

Pertemuan itu berlanjut melalui media lain. Internet, adalah salah satu dari perangkat komunikasi lain yang kerap menjadikan kami tambah dekat dan saling berbagi cerita. Arini tentu tak pernah menutup diri tentang identitasnya, seorang wanita karier yang telah dikaruniai seorang putra. Tak sedikitpun aku gelagapan mendengar pengakuan ini kendati sedari awal merasa tak yakin dirinya telah berkeluarga. Fakta dihadapanku jelas adanya, aku harus realistis bahwa dia sudah tak sendiri lagi.

Sekali waktu Arini bercerita tentang kondisi rumah tangganya. Sangat jarang hal ini di lakukannya kendati kami sudah saling mengenal. Sejatinya, Arini adalah pribadi yang tertutup untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Tapi kenapa kali ini Arini bisa membuka diri?

“Kondisi rumah tanggaku tidak sedang stabil. Rumah tangga kami digoyang isu pihak ke tiga. Isu itu kini bukan sekedar rumor lagi karena aku pernah memergoki suamiku bersama wanita lain…” tegas Arini.

Aku terkesiap mendengar pengakuan ini. Betapa pilu hatinya ketika dirinya tiba-tiba diduakan. Kasih sayangnya terbuang begitu saja dan menjadi bias manakala ikhlas setia yang diberikan pada suaminya hanya jadi pajangan. Kesetiaan dan kecantikan Arini lantas layu di mata suaminya saat itu. Aku berpikir, kenapa wanita selalu jadi korban? Pertanyaanku terganggu ketika Arini kembali bercerita,

“Saya ingin pergi pada sebuah tempat. Meninggalkan hiruk pikuk saat ini untuk menenangkan diri. Tapi bagai mana dengan anakku?” Keluh kesah Arini berakhir dengan pertanyaan yang menggantung. Lalu dirinya menggumam dengan bahasa datar,

“Saya kebingungan. Bertahan dalam kondisi luka dalam rumah tangga bukan sebuah tujuan. Tapi saya harus memilihnya demi buah hatiku.”

“Untuk beberapa lama saya harus pergi dari kesibukan semacam ini. Terima kasih karena Abang sudah bersedia menjadi tempat curhat saya,” ucap Arini lirih.

Saat itu aku tak pernah menjalin komunikasi dengan Arini, semua akses diputus. Arini, tinggal sebuah kenangan yang tersimpan rapi dalam hatiku. Namun ada yang aneh, kian lama dirinya pergi aku semakin kehilangan. Wajah serta senyumnya menggelayut kemana aku pergi. Aku mengkhawatirkan keadaannya…

Aku mengalami goncangan hebat. Terbayang dalam benakku jika dirinya harus merasakan sakit hati berkepanjangan dalam biduk rumah tangganya. Lagi-lagi aku bertanya, benarkah dalam diriku tersimpan rasa sayang karena buah dari kekhawatiran itu? Aku tak berani menjawab dengan jujur sebab luka Arini lebih dalam menancap di hatiku.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku nikmati minggu pagi ini pada sebuah jalan lapang beraspal di kebun raya. Cuaca cerah mengantar aku segera beranjak dari tempat tidur. Serombongan pejalan kaki tampak berduyun-duyun dari arah depanku. Beberapa di antaranya adalah sepasang suami isteri dengan menggandeng anaknya.

Samar-samar dari kejauhan aku menyaksikan wajah yang selama ini kukenal baik, Arini. Aku paksakan diri untuk meyakinkan arah pandanganku karena aku merasa sangsi bukankah Arini telah pindah ke luar kota?

Semakin dekat jarak pandang itu, semakin nyata bahwa wanita yang berjalan ke arahku itu adalah Arini. Aku kegirangan bercampur gugup karena pegangan tangan Arini menggelayut pada pundak lelaki di sampingnya. Sepintas kuamati wajah si pria. Mungkinkah ini adalah suaminya?

Sebelum pertanyaanku terjawab, langkah kakiku semakin mendekati wanita yang selama ini selalu berada dalam palung hatiku.

“Hai…, Abang?” aku sungguh-sungguh gelapagan karena ternyata Arini lebih mengenaliku ketimbang aku sendiri.

“Arini!?” ucapku pendek. Kuamati wajah Arini yang tak berubah dari dulu. Anak kecil yang sedari tadi malah asyik dengan kesendiriannya itu tak luput dari pandanganku, pun demikian dengan pria di samping Arini.

Sejenak kami saling tertegun. Arini mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan pria di sampingnya. Si pria tersenyum ke arahku tapi pergerakan kakinya terus berjalan kecil di ikuti sang anak. Kini tinggal aku berdua dengan Arini. Senyum tipis Arini mekar dalam bulatan kecil bibirnya sambil berkata,

“Dia suamiku yang ke dua. Kami menikah baru beberapa bulan lalu. Di kota ini, kami baru beberapa hari saja,” jelas Arini.

Aku hanya tertunduk lesu. Wanita yang dirindukan ternyata sudah kembali berada di pangkuan lelaki lain setelah sekian lama hidup sendiri tanpa kuketahui. Arini rupanya mengalah pada penderitaan dan memilih untuk menikah lagi.

“Saya lama mencari Abang. Komunikasi yang terputus tak meninggalkan jejak sedikitpun. Pada masa-masa kesendirianku saya teringat Abang terus. Jujur saya katakan, benih cinta itu sudah ada ketika rumah tanggaku mulai goyah. Tapi saya tak berani mengakui hal itu…,” urai Arini panjang lebar.

“Pergilah secepatnya. Suamimu sudah menunggu. Biarkan aku menemui kesendirian itu untuk kesekian kalinya!” ucapku lirih.

Arini menghela nafas panjang. Kakinya bergerak dengan perlahan. Sinar matanya menatapku dengan pandangan iba. Arini rupanya bisa menebak isi hatiku yang tengah meradang.

“Pergilah!” ucapku sekali lagi.

Langkah Arini kembali bergerak. Kepalanya sedikit mendongkak ke arahku seraya berbisik, “Jangan menyesal karena tak berhasil memilikiku karena sesungguhnya saya pernah jatuh cinta pada Abang. Waktulah yang tak menghendaki kita bersatu,” jelas Arini.

Aku lama terdiam. Langkah Arini mulai menyisir jalanan aspal dengan lambat. Langkahnya kian menjauh dari berdiriku. Arini, engkau masih telaga dalam hatiku, bisikku saat itu tanpa berani berharap lebih.

Sabtu, 06 Desember 2008

Surat Untuk Bidadari

Setiap jengkal kehidupanmu tak surut selalu kuikuti. Perniknya tak pernah tertahan untuk tak kukemas dalam hati. Kujadikan pelajaran hidup jika saja aku pun akan mengalami hal yang sama, ribut, saling berdiam diri dan sibuk dengan urusan masing-masing.

Kupahami betul bahwa biduk rumah tangga akan banyak mengalami pasang surut. Tak selamanya damai, tak selamanya penuh gerhana. Itu adalah secuil romantika di mana setiap kejadian di dalamnya adalah sudah menjadi "guyonan" biasa.

Bara dalam rumah tangga tak akan menjadi besar jika sebentar saja kita mau melirik ke arah cermin dengan pantulan gambar kita. Sesaat pula kita harus berani berlapang dada untuk menerima "kekalahan" demi untuk memadamkan bara tadi.

Tak jarang, sikap mengalah justeru bisa menyadarkan pasangan kita dan menjadi bahan renungannya. Tapi tak sedikit karena sikap yang selalu mengalah, kita dijadikannya kesetan dan harus terbiasa untuk diinjak.

Kenali jiwanya dengan baik. Seorang sahabat yang baik tak akan meninggalkan karibnya manakala mengecewakan. Yang dia lakukan selalu berhati-hati terhadap tindakan si karib tanpa harus membencinya secara fisik.

Tak sedikitpun aku berharap ada riak dalam rumah tanggamu. Bahkan aku selalu mengenangkan rumah tanggamu dalam kondisi damai. Sejatinya hidup ini adalah pengembaraan di mana setiap jengkal kejadian yang terjadi pada diri orang lain adalah cermin yang bisa dipungut dan disimpan rapat sebagai pelajaran.

Aku..., bukan siapa-siapamu. ABAIKAN aku dan tak usah berpaling. Langkahmu sudah benar membelakangi aku. Jangan lepaskan gandengan tangan di samping kananmu, Bidadari!

Jumat, 05 Desember 2008

Karena Aku Manusia Biasa

Janji untuk tak "bertemu" ternyata kuingkari lagi. Hanya dua hari aku kuat untuk tak melihat senyum bagusmu. Perthanan ini bobol karena balasan SMS sebagai pertanda bahwa dirimu baik-baik saja terlambat diterima, akhirnya mau tak mau aku membuka akses ini.

Perbincangan kami tak lama. Hanya sepenggal ibu jari lantas dia menghilang pada jarak pandang yang sungguh sulit ditebak. Selama aku "meninggalkanmu", aku justeru berkutat dengan alam pikiranku. Hasilnya, adalah ini yang tengah kau baca.

Saya tak bisa sembunyi dari kenakalan imajinasi seorang lelaki normal. Apapun bentuk sembunyi itu, tetap tak rela jika rasa itu lantas hilang dengan sempurnanya. Kerap kali tersenyum sendiri, bilakah ini akan berakhir?

Lama atau sebentar, perasaan untukmu tetap terpelihara dengan baik. Mungkin karena aku sudah terlanjur jatuh hati hingga menimbulkan rasa khawatir pada keadaanmu dan meninggalkan jejak rasa sayang...


Jum"at malam, 9.13
Bogor di musim hujan

Kamis, 04 Desember 2008

Pada Ranjang yang Kemarin

Puisi ini saya buat khusus buat seseorang. Wanita super hebat dengan kemampuan kerja yang sungguh di luar nalar saya. Pekerja keras dan berpenampilan elegan. Jika bicara, sedikit menghentak dengan plot datar dan renyah. Pujian ini sengaja kusamarkan dan kusembunyikan, semua tentang INDAHNYA yang tak habis dikupas dalam sehari. Pesonamu begitu menyiksaku wahai "bidadari". Inilah khayalanku...


Sungguh...
Aku ingin memanggilmu dengan bidadari saja
sebab indahmu adalah pesona bagi dahagaku
lembut mengayun senyum
di sini, di ranjang yang kemarin...

Tak bersolek pun...
engkau masih SECANTIK BIDADARI
tak beristana memang
karena di sunia khayali kita bertemu

Rentang waktu yang bergulir
setiamu tak pernah lahirkan kehampaan
jemari tak jemu untuk bergelayut
pada lelaki yang ini-ini juga

Sepenuh hati jiwamu kuetrkam bulat-bulat
memaknai hidup yang telanjang jadi berwarna
seutas kelelakian yang kering, basah karenanya
menari kembali dengan irama senja hari

Tak urung...
jiwaku terkupas oleh dan nyaris meleleh
keengganan yang tak bisa kubuang ke dasar jurang
pada ranjang yang kemain
cemburu ini hanya untuk dirimu...!

Wanita Peranakan Cina itu Bernama Aisyah

Judul di atas sama sekali tak ada istimewanya. Sama seperti judul esai atau pun karya tulis lainnya, judul hanya merupakan sebentuk “rekayasa” supaya orang mau peduli untuk singgah dan berharap membaca tulisan tadi. Kenapa trik diperlukan? Jawabannya tentu beragam, seberagamnya isi kepala di belahan bumi ini.

Apakah trik semacam ini bisa dikategorikan penipuan? Bisa jadi karena manusia dilahirkan memang untuk “menipu”. Menipu, kendati berkonotasi jelek, tetap bisa bermakna aduhai jika berada di tempat yang elok. Salah satunya adalah ketika sepanjang perjalanan Sukabumi-Bandung saya “dikelabui” mentah-mentah oleh sebuah pribadi nan elok tadi. Panggil saya Aisyah saja!

Si empunya nama tadi memperkenalkan diri dengan cara yang berbeda dari kebanyakan wanita pada umumnya. Sikap beda ini mungkin karena saya memanggil dirinya dengan sebutan enci. Khas, karena memang dia berwajah oriental.

Aisyah, demikian si wanita ini saya panggil, tak jemu saya ajak ngobrol ngalor ngidul. Dia semangat meladeni. Obrolan yang tadinya hanya biasa, akhirnya mengalir kepada jalan hidup seorang Aisyah. Sebagai mana yang dia ceritakan, dirinya baru saja pulang dari sebuah pesantren di Sukabumi.

Nah, di sinilah letak keheranan saya karena seorang keturunan Cina mau membuka jati dirinya sebagai Muslim dan berusaha dengan kesungguhan hati untuk mempelajari Islam secara khafah. Saya yakin, Aisyah sejatinya tidak sedang menipu. Tapi karena keterbatasan berpikir sayalah yang kadang merasa “gelap” oleh pemandangan yang sesungguhnya dalam kondisi “terang”.

Di keluarganya, Aisyah adalah satu-satunya anggota keluarga yang beragama Muslim. Kendati awalnya banyak ditentang, Aisyah tetap berjalan sesuai keyakinannya. Bukan tanpa resiko, dilempar dari dinasti keluarga adalah bagian dari konsekuensi atas pilihannya ini, termasuk harus hidup melarat karena tak dapat tunjangan keluarga..

Apa yang Anda cari dari semua ini?

Ketika pertanyaan ini saya lontarkan, Aisyah hanya tersenyum simpul dan berujar kalem “ketenangan!”.

“Cermin” bisa didapat dimana saja, termasuk ketika kita di perjalanan. Dipungut atau tidak, semua tergantung kepada kita bahwasanya apa yang terlihat saru kadang berubah jadi mengejutkan.

Bagi saya, Aisyah nama yang teramat “lembut” dan kelewat “indah” karena yang menyandangnya bukan saja karena seorang Cina, melainkan maknanya pun begitu dalam.

Panggil saya Aisyah saja!

Bulan Jatuh di Hatiku

Aku hanya bisa membayangkan keayuan wajahnya. Aku sungguh-sungguh tak bisa menghindar dari kehebatan dia menangguk senyum bagusnya. Sesekali aku hanya bisa mengernyitkan dahi, pertanyaan besar terus bersarang di hatiku, aku tak ingin kau memanggilku!

Jika saja engkau adalah bagian dari hidupku, gaya hidup kita tentu akan lebih dekat pada dunia kampung yang damai, kesederhanaan yang akrab dikencani. Dan inilah petikannya!


Malam ini, kau tak terlihat singgah
di depan rumah berkuyu kelabu
sepertinya kamu mulai jenuh
irama hidup hanya sebaris ujung pena

Diam saja di situ...!
tak berarti bagiku kendati kau datang telanjang
mari singgah di benak ini, seperti lalu-lalu
mengebiri rasa cinta dengan nyanyian palsu

Rentetan hidup nyaris gersang pesona
nyanyikan perih dengan satu anggukan
senyum kamu kukulum hambar,
sejatinya hati kamu ada padanya

Pergilah barang sejenak...!
temui binatang peliharaan kita
di ladang yang hanya sebesar nampan
itu pun hasil nagguk juragan kumis

Seindah lembayung sore,
jalanmu terseok menghamba hidup
tentu kamu tegar karena akulah lelakumu (?)
kesejatian ini untuk siapa,
kamu tentu punya jawabnya

Buan jatuh di hatiku
ingin kuremas bersama lembayung malam
awan tentu tersenyum dengan riak cemburu
wanita dalam mimpi...,
sesaat saja aku ingin melihatmu
bilakah itu?

Di Bawah Pohon Akasia

Cinta sejati memang hanya ada dalam dongeng. Dunia kini sudah tak lagi berpihak pada "rasa" itu. Dianggapnya telah terjadi sebuah pergeseran nilai. Apa benar cinta sejati hanya ada dalam roman picisan?

Berikut petikannya. Fakta atau bukan, ini hanya goyon yang bisa jadi bahan renungan kita. Bilakah pasangan kita mencintai setulang sumsum kita atau sebatas romansa sesaat.


Dimana gerangan kita akan bertemu?

Bukan di mal atau gedung pencakar langit

Cukup di bawah rindang pohon akasia

Aku menjawab getir, dalam kelu lidahku

Sebaris gigi berjejer senja

Ditumbuhi sunggingan senyum nyinyir

Bibir tipis basah keringat

Pesona ayumu melumat pasrahku

Siang ini akan jadi milik kita

Bingkai kecil dalam cermin gading

Terbingkai indah seolah tanpa jeda

Kamu pasti rindu dendam berharap tiba

Leher jenjang itu kini di mukaku

Gaun merah jambu dengan rambut kepang kuda

Secantik bidadari, aku cemburu pada Tuhan

Tak demikian aku berada.

Kamu banyak terdiam, linglung

kerling matamu tak rindu untuk melihat

jemu rasanya kamu berada di sini

inilah nyanyian akasia, tanpa jejeran busana

dan ribuan manekin. Kamu seperti tersesat….

Jam 3 Dini Hari Malaikat Maut Itu Berada Persis di Sampingku

Tulisan ini saya ambil ketika beberapa hari terbaring sakit. Penyakit tifus yang saya idap mengantar saya pada sebuah bangsal rumah sakit di bilangan Cileungsi, Bogor.

Saya hanya diantar sahabat yang sudah saya anggap sebagai saudara, namanya Enjang Abdul Nasir. Saya selalu memanggilnya dengan kata ’ustad’ karena dia seorang karyawan yang penceramah. Dia pun selalu mengistilahkan ’show’ jika tiba-tiba ada yang mengundang ceramah ke pengajian atau hajatan lainnya. Saya pula yang kebagian ngedit isi ceramahnya sebelum dilempar ke tengah khalayak.

Tuhan memberi saya dua ’teguran’ sekaligus. Di samping penyakit tifus tadi, ada jentik putih di lingkaran tengah mata saya. Mata akan terasa sakit dan jentik putih akan timbul jika lama berdiam diri di depan komputer. Jika diabaikan, maka akan ke luar air dan kedipan terasa bergesekan seperti terhalang pasir.

Bisa jadi keluhan yang terjadi pada mata saya karena keseringan membaca dengan posisi seenaknya. Atau pula karena mata sudah tak tahan dengan radiasi komputer.

Setiap kejadian akan meninggalkan bekas. Pertanda bahwa apa yang terjadi mengandung hikmah di balik itu semua. Ketika sakit mendera, betapa kematian begitu dekat. Teringat dosa-dosa dan selalu berpikir bekal apa yang kelak akan saya untuk menghadapNya. Saya teringat terus kepada ibu, orang tua saya satu-satunya!

Dalam satu kamar diisi oleh dua pasien. Keberadaan kami jaraknya hanya sekian meter dengan sekat kain putih. Di samping saya, tergolek pasien korban tabrakan sepeda motor. Khabar burung yang berhembus, si pasien hilang kendali karena dalam kondisi mabuk berat.

Hampir setiap waktu ’tetangga’ saya itu selalu meraung kesakitan. Raungannya baru reda jika kantuk datang. Tertidur pulas sesaat dan kembali bangun diserang rasa sakit.

Malam itu udara Cileungsi terasa dingin. Menginjak subuh pun demikian, malah semakin dingin. Kondisi pasien di samping saya berbeda dari malam sebelumnya, ada dengusan halus mirip orang disekap. Ada bunyi ngorok yang terdengar dan sesekali si pasien seolah berteriak dengan bunyi suara yang tak karuan. Beberapa penunggu menyadarkan dirinya agar rajin membaca asma Allah...

Anasir tubuh saya ada yang berbeda. Bulu tengkuk terasa berdiri. Saya merasakan, mungkin panas dingin akan tiba seperti saat awal penyakit ini datang. Tapi hanya sekejap bulu kuduk itu berdiri lalu hanya dalam hitungan menit khabar dari seberang terdengar bahwa pasien di samping saya meninggal dunia. Inalilahi waina ilahi rajiun...

Kerap kali saya membayangkan..., jika malam itu Malaikat Maut datang untukku mungkin rela andai harus menghadapNya. Tapi bekal apa yang saya bawa sungguh sangatlah masih menjadi pertanyaan besar. Bagaimanapun, kematian adalah satu hal yang pasti. Tapi tentu sensasi ”nikmatnya” akan berbeda pada setiap diri manusia karena bergantung kepada amal perbuatannya.

Malaikat Maut bukan berarti baik pada saya karena tak mencabut nyawaku padahal saya berada persis berada di depannya saat Sang Malaikat datang (?). Namun yang pasti jatah hidup di dunia buat saya masih diperpanjang. Kekuasaan Tuhan memang nyata adanya, malaikat suruhanNya ternyata tak salah cabut!

Sepeninggal tetangga karena harus berada di alam berbeda, saya menikmati kesendirian itu karena tak ada pasien baru yang masuk Penyakit saya cepat sembuh mungkin karena secara psikis saya merasa ’diobati’ oleh kehadiran SMS dari sekian sahabat saya. Selama dalam penyembuhan, saya berhasil menikmati suara nyaring Pak Iyan ( Chanleo ). Suaranya ringan dan tentu enak didengar pula.

Buat kalian, saya mengahturkan terima kasih atas suport yang diberikan. Jangan takut untuk sakit siapa tahu kalian akan ”bertemu” malaikat kendati saya meyakini bahwa kematian adalah salah satu yang paling ditakuti.

Senyum itu Dibawanya Hingga Ke Ujung Tidur

Kerap kali saya membayangkan bagai mana seorang Da Vinci bisa sejenius itu menciptakan pose wanita yang sedang terduduk anggun dengan senyum yang bisa dikatakan biasa ini ternyata bisa mengguncang dunia.

Kreasi Da Vinci bukan hanya itu, perhatikan lukisan jam melelehnya. Sangat potensial mengeruk tebal uang para kolektor. Tapi kenapa lukisan yang berjudul Senyum Monalisa bisa sebegitu terkenal?

Banyak para kreator film terinspirasi oleh senyum maut si wanita ini. Maka jangan heran jika para sineas Barat pun menampilkan sosok senyum wanita piktif ini pada banyak ragam versi. Dikemas modern ataupun klasik, sama-sama punya nilai jual.

Senyum…, banyak hal yang bisa digali dari hanya satu kata ini. Ragam kejadian bisa bergulir memenuhi sekian persen pemberitaan gara-gara senyum ini. Kenapa senyum berubah seperti laknat? Kenapa senyum bisa menjadi ‘jimat’? Kenapa senyum begitu dahsyat menyimpan pesona?

Tarik ulur urusan senyum adalah magnet yang tak akan habis untuk digunting jika kita berkehendak. Senyum, ditempatkannya sebagai pemandangan indah yang kerap kali sengaja dipasang entah sebagai jerat atau pemikat. Atau pula bisa jadi, senyum adalah bagian dari sandiwara hidup ini. Apa jadinya jika wanita seanggun bidadari tanpa senyum? Tentu bersikap selalu cemberut sama dengan menyembunyikan pesona kecantikannya.

Sahabat saya yang asli Solo pernah digilai oleh seorang pria gara-gara senyum. Dirinya mengakui bahwa si pria benar-benar semaput manakala si Solo ini berbasa-basi seraya melemparkan senyumnya. Si gadis Solo awalnya tak sadar jika senyumnya bisa mendatangkan makrifat. Pengakuan si pria sungguh mencengangkan, setiap tidur dirinya mengakui bahwa senyum si gadis emoh pergi hingga tidur usai!

Dari mata turun ke hati, asmara mulai angkat bicara. Jika sudah begini, ada benarnya jika senyum adalah bagian dari perangkat lunak yang kerap kali menjadi bumbu romansa kisah perselingkuhan antara rasa cinta dan romantisme sejenisnya.

Di mata saya, senyum si gadis Solo ini nyaris tak ada istimewanya karena hampir tiap hari menikmati cara dia tersenyum. Sesekali dia pernah tersenyum bahkan nyaris terbahak hingga barisan gigi belakangnya terlihat. Pernah pula berdekatan saya bicara, ada aroma tak sedap yang keluar dari rongga mulutnya. Jika saja aroma itu berujud secara fisik layaknya senyum…, saya tak bisa membayangkan bisakah si pria semaput pula?

Pun demikian dengan Cleopatra. Senyumnya sengaja diumbar karena bagian dari pesona tadi. Setiap pria nyaris mengakui bahwa jika Cleoptra tak ada senyumnya, maka kecantikannya hilang dengan begitu saja. Juga demikian dengan pengakuan Dewi Soekarno, bagian dari pesona Soekarno muda kala itu salah satunya adalah senyum.

Setiap pria ataupun wanita mempunya imajinasi yang nyaris sama jika harus berurusan dengan senyum. Ketertarikan antar sesama jenis selalu dikaitkan dengan senyum. Manis, menarik ataupun menggairahkan mempunyai konotasi yang berbeda pada setiap jengkal pemikiran, dalam artian tentu tak sama. Bisa jadi awal dari ketertarikan pada isteri atau suami Anda dulu awalnya adalah dari senyum tadi.

Anugerah yang satu ini sudah jadi bukti bahwa senyum merupakan bagian dari sandiwara kehidupan. Ketertarikan menjadi ekses yang maha dahsyat bagi si penikmatnya. Banyak orang mengakui, senyum ada yang membawa luka, ada pula yang terbawa hingga ke ujung tidur.

Dalam hal ini, bingkailah senyum itu seindah mungkin. Apalagi ada semacam keyakinan bahwa memberi senyum tulus adalah merupakan bagian dari ibadah. Terseyumlah terus dan kesampingkan ketakutan bahwa aroma nafasmu tak bersahabat kecuali memang jika Anda tengah berciuman!

MERANGGAS DI MUSIM SEMI

Senyum tipis Sovi Aufan dinikmati sepenuhnya oleh desir angin malam ini. Hening halaman rumah membuat dirinya lebih nyaman berada di luar ruangan. Sesekali jiwanya melambung hingga ke ujung langit manakala dirinya ingat ke masa lalu, tentang perjuangan seorang pria yang bersusah payah mengejar cintanya.

Sang pria sungguh tak jemu menguntit kemana Sovi pergi. Dinantikan khabarnya, dan tak lelah pula dia sering berkata bahwa wanita impiannya hanya Sovi seorang. Kegombalan khas seorang pria tampak tercermin pada prilaku lelaki tadi. Tiba-tiba saja sang pria begitu renyah berpuisi dan ciamik membuat prosa indah.

Sovi lebih banyak diam ketika sang pria memujinya. Tentang senyum Sovie yang indah, rambut sebahu yang sesekali digerai atau diikat kuda, juga tak luput dari bagian drama melankolis penuh romantisme kala itu. Ruang temaram sebuah restoran menjadi saksi ketika sang pria mengakhiri kencan mereka dengan ucapan tak kalah hebat,

“Bersediakah engkau menjadi isteriku?”

Sovi terdiam sesaat. Aliran darahnya terasa lebih kencang berlari. Bening mata si pria tampak berkaca-kaca sebagai pertanda ucapan tulus akan keikhlasan mencintai.

Haru biru perasaan Sovi. Hanya anggukan kepala yang diberikan Sovi, pertanda dirinya mengiyakan ajakan si pria.

Malam ini seharusnya milik mereka berdua. Kemal, Arjuna pengejar cinta yang kini jadi suaminya itu, tergolek di atas ranjang dengan muka sebagian tertutup bantal. Ada bunyi dengkur sebagai pertanda napas yang tersendat. Sovi masih tetap asyik dengan kesendiriannya, di sebuah taman depan rumah…

Bila saja hati Sovi tak tertaut oleh sesama rekan bisnisnya, malam ini tentu akan dilewati bersama sang suami. Sovi tak menduga jika urusan bisnis akan beranjak pada urusan asmara yang berakhir dalam percintaan terselubung. Perselingkuhan menjadi dinamika yang rentan terjadi pada posisi seorang Sovi. Sovi punya kedudukan dan secara fisik, pesonanya tak jemu untuk dipandang. Itulah sebabnya, Riko adalah pelakon ke dua yang mengejar cinta Sovi.

Kisah asmara terselubung Sovi akhirnya diendus Kemal. Pada sebuah ruangan café Bimo menyaksikan kemesraan Sovi dan Riko. Kemal tentu marah besar dan nyaris menyeret Riko pada sebuah kolam taman. Tapi tak dilakukan, entah apa alasannya.

Kemal menggandeng rapat Sovi dan memandunya ke arah mobil. Laju kendaraan melesat menuju rumah. Tiba di rumah terjadi percekcokan sengit. Sovi tentu kelimpungan karena rahasia perselingkuhannya terbongkar telak.

“Kejarlah si Riko itu jika kamu merasa nyaman hidup dengannya!” hardik Kemal membuka pembicaraan.

“ Saya minta maaf, Bang! Saya sungguh-sungguh khilaf,” iba Sovi dengan bibir bergetar seraya memeluk suaminya.

Tak ada yang dilakukan Kemal manakala tangan Sovi melingkar di pingganya. Sovi merasakan degup jantung Bimo kencang memburu. Amarah tak tertahankan itu akhirnya mengendap seiring ambruknya tubuh tegap Kemal. Kemal semaput dan merasakan inilah episod hidup paling berat yang dirasakannya.

Malam dirasakan Sovi kian larut. Dingin nyaris membalut tubuhnya. Gesekan tumbuhan yang sedari tadi jadi saksi pada lamunannya tampak mulai layu dan nyaris meranggas layaknya hati seorang Kemal. Kesetiaan seorang lelaki itu mulai dijamah tinta hitam oleh isterinya sendiri dengan cara yang tak elok, selingkuh!

Lunglai tubuh Sovi kala berdiri. Bangkit dari sofa dan seraya menatap bulan yang sesaat lagi pergi. Ada kehangatan yang melingkar dalam pinggang Sovi. Dengus nafas yang tersisa menyentuh pundaknya, bulu kuduk Sovi terasa hangat. Pun demikian dengan lingkaran tangan itu semakin kuat membalut.

Dipapahnya Sovi menuju ruang tidur. Gamit tangan Sovi mencengkran kuat lelaki yang telah menikahinya selama lima tahun itu. Sovi sesaat berdiri di depan cermin. Ada lelehan bening mengalir dari sudut matanya.

“Saya tak akan jemu untuk setia hingga kau merasa jenuh dengan kesetiaanku itu,” ucapan lirih Kemal mengayun lembut di telinga Sovi.

“Terlalu saying jika kita harus melepas kepolosan dan kelucuan buah hati kita karena ulah kekerdilan pikiran kita,” terang Kemal meyakinkan hati Sovi. Sovi melirik pemilik mata bulat itu dengan tatapan sempurna.

Sovi beranjak menuju lemari Pakaian. Sesaat dirinya sudah berganti gaun. Pakaian tidur berbahan satin dengan warna merah marun adalah kesukaan Bimo, membungkus penuh si pemilik wajah anggun itu.

Bimo tersenyum lebar seraya mengecup kening Sovi. Kini Sovi merasakan bahwa kehangatan itu tak pernah berubah dari dulu…

“Saya minta maaf, Bang, Saya tak akan membiarkan hati Abang layu berkepanjangan,” lirih Sovi dalam bathinnya.